Langkah tersebut adalah yang terbaru dari serangkaian perubahan kebijakan pro-Israel oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Donald Trump, menjelang pemilihan presiden AS 2020 pada pekan depan.
Lima tahun lalu, ketika Presiden Barack Obama menjabat, Mahkamah Agung AS telah mengeluarkan UU yang mengizinkan warga Amerika kelahiran Yerusalem untuk mencantumkan Israel sebagai asal negaranya di paspor mereka.
Namun, UU tersebut dianggap melanggar hukum kekuasaan presiden dalam mengatur kebijakan luar negerinya.
Yerusalem yang memiliki status sebagai kota suci bagi Muslim, Yahudi dan Kristen, menjadi salah satu topik konflik antara Israel dan Palestina dalam memperebutkan wilayah.
Pada 2017, Trump membalikkan kebijakan AS selama beberapa dekade dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang mana tidak dilakukan oleh banyak negara untuk menjaga sumbu konflik.
Melansir Reuters pada Kamis (29/10/2020), Pompeo mengatakan keputusan untuk mengizinkan warga AS kelahiran Yerusalem untuk memilih mendaftarkan Israel atau Yerusalem sebagai tempat kelahiran mereka, adalah bentuk "konsistensi" terhadap proklamasi Trump pada 2017.
Rakyat Palestina yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan yang mereka cari di Tepi Barat dan Gaza, terpukul oleh kebijakan AS.
Trump "mencoba untuk menghapus hak-hak Palestina," kata Wasel Abu Youssef dari payung Organisasi Pembebasan Palestina kepada Reuters.