Penulis
Intisari-Online.com - Konflik dan kelaparan bukan satu-satunya cerita kelam yang terjadi antara tahun 1975 sampai 1999, saat Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia.
Kebanyakan pria Timor Leste pro-kemerdekaan mungkin akan terjun ke medan perang bersenjata, sementara para wanita justru terjun ke 'medan perang' lainnya.
Sebuah pengalaman yang akan meninggalkan luka bagi mereka, juga disebut menghancurkan keluarga masa depan Timor Leste.
Ketika program unggulan yang didanai Bank Dunia justru disalahgunakan terhadap para wanita Timor Leste.
Wanita Timor Leste disebut menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual selama invasi Indonesia.
Itu berlanjut hingga masa integrasi Timor Leste dengan Indonesia, saat Timor Leste menjadi provinsi ke-27 Republik Indonesia.
Melansir easttimor.org.uk, Pada tahun 1975, perempuan Timor Lorosa'e merasakan beban dari beberapa pelanggaran HAM yang paling mengerikan yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Dilaporkan mereka diperkosa di hadapan anggota keluarga, dipaksa menikah dengan tentara Indonesia, disiksa dengan sengatan listrik, dilecehkan secara seksual, dan disterilkan secara paksa.
Fase pertama dimulai sejak invasi Indonesia pada tahun 1975 dan berlanjut hingga pertengahan 1980-an.
Tentara Indonesia memperkosa dan menghamili wanita dan gadis Timor Leste, memutilasi wanita hamil, dan secara diam-diam mensterilkan mereka.
Kemudian di fase kedua, sterilisasi berlanjut dengan mengabaikan penderitaan mereka.
Fase kedua ini berlangsung hingga akhir 1990-an, melihat lebih jauh sterilisasi rahasia dan kontrasepsi paksa bagi perempuan Timor-Leste melalui program pengendalian populasi yang didanai Bank Dunia, Programa Keluarga Berencana (dikenal sebagai program KB).
Negara-negara Barat mengabaikan penderitaan perempuan Timor-Leste.
Program KB melanggar sejumlah deklarasi PBB tentang hak asasi manusia, juga melanggar kebebasan beragama perempuan.
Di Timor Lorosae, 91 persen warganya Katolik, dan banyak perempuan menentang kontrasepsi atas dasar agama.
Tujuannya untuk mengurangi penduduk Timor Timur dianggap sebagai genosida.
Program KB sendiri dikenal sebagai program unggulan pemerintah, di mana tujuannya untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran.
Makna program tersebut adalah perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran.
Jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Gerakan ini mulai dicanangkan pada tahun akhir 1970-an.
Namun yang memilukan, penyuntikan kontrasepsi hormonal dilakukan tanpa pemberitahuan kepada para wanitanya.
Menurut easttimor.org, salah satu teknik yang digunakan oleh para “tenaga kesehatan” Indonesia (yang sering didampingi oleh aparat militer) adalah pemberian kontrasepsi hormonal dengan kedok bahwa perempuan tersebut mendapatkan vaksinasi. Wanita-wanita ini disuntik tanpa diberitahu.
Mereka hanya diberitahu bahwa itu adalah vitamin atau obat antimalaria, gadis remaja sering menerima "vaksinasi" ini di sekolah di hadapan tentara Indonesia, dengan pintu terkunci untuk mencegah melarikan diri.
Ada kasus-kasus di mana perempuan yang masuk ke klinik kesehatan Indonesia di Timor Lorosae untuk operasi darurat atau rutin, seperti operasi caesar atau operasi usus buntu, justru kemudian menyadari bahwa mereka tidak dapat hamil, korban pengikatan tuba.
Program KB di Indonesia (serta praktik sterilisasi yang lebih terselubung) secara terang-terangan melanggar standar internasional yang ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan.
Standar yang diuraikan pada konferensi tersebut menuntut hak perempuan atas keluarga berencana yang terinformasi, layanan kesehatan ibu dan reproduksi yang memadai, dan hak untuk bereproduksi secara bebas.
Alat kontrasepsi yang paling umum digunakan di Timor Lorosae adalah bentuk suntik Depo-Provera.
Depo-Provera yaitu kontrasepsi hormonal jangka panjang yang mencegah ovarium pengguna menghasilkan sel telur yang matang selama kurang lebih tiga bulan.
Obat tersebut disetujui di AS oleh FDA, tetapi memiliki efek samping yang signifikan, termasuk pembekuan darah, haid tidak teratur, depresi, dan syok.
Jika Depo-Provera diberikan kepada wanita hamil, atau jika seorang wanita hamil saat menggunakan obat tersebut, janin dan ibu dapat mengalami komplikasi yang mengancam nyawa.
Dan menurut Physician's Desk Reference, obat tersebut harus diberikan hanya selama lima hari pertama dari siklus menstruasi normal.
Hal memilukan yang terjadi di Timor yaitu perempuan melahirkan, keguguran akibat suntikan Depo-Provera, dan beberapa perempuan menjadi mandul karenanya.
Perempuan Timor-Leste terpaksa menanggung sebagian besar beban dari apa yang diyakini banyak orang sebagai rencana pemerintah untuk menghapuskan budaya Timor-Leste, justru menghancurkan rasa sebagai perempuan dan menghancurkan keluarga Timor di masa depan.
Baca Juga: Sudah Disahkan, Nyatanya Naskah UU Cipta Kerja Kembali Berubah di Tangan Istana….
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari