Penulis
Intisari-online.com - Bukan rahasia lagi jika China adalah negara yang gemar memberikan utangan kepada negara manapun yang membutuhkan.
Banyak negara-negara kecil hingga besar berutang dan menerima investasi dari China.
China dikenal dengan agenda internasional yaitu Belt and Road Initiative (BRI), untuk menciptakan jalur perdagangan dunia.
Dengan trik memberikan gelontoran utang dan investasi ke nagara manapun yang berniat membangun infrastruktur negara.
Namun di balik itu semua, China juga menggunakan diplomasi perangkap utang yang dipercaya akan menjerat suatu negara masuk ke dalam utang China.
China memberikan utangan dalam jumlah tak masuk akal, hingga kemudian membuat negara pengutang mustahil untuk membayarnya.
Kemudian setelah itu, China akan mengambil alih proyek tersebut dengan menyewanya untuk jangka waktu sangat lama.
Sudah banyak negara-negara kecil yang masuk ke dalamnya seperti Djibouti, Sri Lanka hingga Maladewa.
Namun, baru-baru ini menurut 24h.com.vn, pada Sabtu (17/10/20), ada sebuah negara yang mendadak putuskan hubungan dengan China setelah menerima utang dalam jumlah besar.
Negara tersebut adalah Maladewa, negara kepulauan di Samudera Hindia ini, memutus Free Trade Agrement (FTA) dengan China, untuk membuka peluang dengan negara lain.
Menteri Ekonomi Maladewa Fayyaz Ismail mengatakan bahwa negara tersebut akan membatalkan FTA dengan China.
Tujuannya untuk melindungi hubungan perdagangan dengan India dan negara lain.
Pada 2017, FTA dengan China disahkan oleh Majelis Nasional Maladewa.
Kesepakatan ini kontroversial pada saat mantan Presiden Maladewa menandatangani kontrak dengan Xi Jinping untuk melakukan perjalanan ke negara pulau itu.
Menteri Fayyaz Ismail mengatakan bahwa FTA dengan China tidak boleh ditandatangani untuk waktu yang lama.
Dia mengkritik China karena kerugian ekonomi dan menyebabkan Maladewa berhutang karena kesepakatan yang tidak adil itu.
"FTA dengan China tidak dapat diterima. Akan lebih baik jika Maladewa tidak menandatanganinya," katanya.
"Perjanjian ini mengizinkan barang-barang China untuk diimpor ke Maladewa tanpa dikenakan pajak," jelasnya.
"Sedangkan barang dari negara lain yang masuk ke Maladewa dikenakan pajak yang tinggi. Ini tidak adil dan dapat mempengaruhi hubungan kami dengan negara lain," papar Ismail di televisi nasional.
"Hubungan yang sangat kami bangun akan hancur jika kesepakatan perdagangan dengan China terus berlanjut," tambahnya.
"Kami akan tersesat bolak-balik. Singapura, Dubai dan India akan berpaling dari kami," kata Ismail lagi.
Pemerintah Maladewa percaya bahwa sektor perikanan menyumbang sebagian besar ekspor negara, tetapi tidak mendapat keuntungan dari FTA dengan China.
Kesepakatan perdagangan dengan China menghasilkan lebih banyak kerugian daripada keuntungan.
Sementara itu, Maladewa kini berhubungan dengan India yang sedang berselisih dengan China, semakin membaik.
Pada 20 September, India menandatangani cek senilai 250 juta dollar AS kepada Maladewa agar negara kepulauan tersebut dapat memulihkan ekonominya yang terkena dampak serius epidemi Covid-19.
Menteri Luar Negeri Maladewa Abdulla Shahid mengatakan bahwa ini adalah bantuan keuangan terbesar yang didukung oleh mitra negara pulau itu selama pandemi.
Selain itu, Maladewa juga berhutang kepada China sekitar 1,1 hingga 1,4 miliar dollar AS (Rp16-20 Triliun).
Ini adalah hutang besar bagi negara kepulauan Samudra Hindia.