Penulis
Intisari-online.com -Pencegahan warga untuk berkumpul dan upaya menghindari terjadinya klaster penularan Covid-19 di Indonesia tergolong unik.
Mengutip Channel News Asia, salah satu pencegahan penularan Covid-19 yang disorot oleh media Singapura tersebut adalah warga lokal menjadi hantu untuk menakut-nakuti orang.
Beberapa waktu lalu heboh warga menjadi hantu pocong dan berjaga di gerbang masuk beberapa desa.
Diharapkan, saat ada warga lain yang ingin keluar rumah dan berkumpul-kumpul mengurungkan niatnya dan tetap berada di rumah karena ketakutan.
Penggunaan legenda dan mitos
Pemerintah lokal terutama di pulau Jawa memang lebih memilih menggunakan mitos-mitos lokal untuk upaya membuat warga tetap di rumah saja.
Pocong adalah mitos yang dipilih utama, karena sudah populer di kalangan masyarakat dan sering membuat warga takut.
Menurut mitos orang Jawa, pocong adalah jiwa orang meninggal yang terjebak, meloncat-loncat sekitar tengah malah dan menghantui orang-orang yang berperilaku jahat.
April lalu di Kepuh, Provinsi Jawa Tengah, ada kesepakatan para pejabat desa untuk menakut-nakuti warga dengan berpakaian seperti pocong.
Sejauh ini belum ada laporan mitos hantu lokal lain seperti kuntilanak atau yang lainnya digunakan untuk menakut-nakuti warga.
Warga Kepuh bernama Karno Supadmo, mengatakan "sejak ada pocong, orang tua dan anak tidak pernah meninggalkan rumah mereka.
"Orang-orang juga tidak berkumpul di jalan atau adakan pertemuan-pertemuan setelah sholat Isya."
Sementara itu di Sragen pada Idul Fitri lalu, ada aturan karantina 14 hari bagi warga yang kembali ke Sragen dari tempat mereka merantau.
Mereka yang tidak mau dikarantina akan dikarantina paksa di 'rumah hantu', memastikan mereka tidak akan melanggar protokol kesehatan lagi.
Rasakan sensasi kematian
Beda cerita dengan di Jakarta, meskipun tidak jauh dengan hantu dan kematian, sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan juga terbilang cukup unik.
Polisi memberi sanksi bagi yang melanggar protokol kesehatan untuk berbaring di sebuah peti mati kosong.
Saat berbaring, mereka diminta mengakui apa saja kesalahan mereka.
Metode ini segera dikritik, karena beberapa ahli sebutkan peti mati bisa menjadi sumber penularan Covid-19 itu sendiri.
Polisi pun membatalkan program tersebut.
Namun, hal itu tidak mencegah pemerintah kota Jakarta untuk pamerkan peti mati kosong di area publik.
Gunanya adalah untuk ingatkan warga tentang kematian jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19.
"Mungkin aksi ini sedikit ekstrim, tapi ini adalah bagaimana cara kami meningkatkan kesadaran publik," ujar Camat Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Djaharuddin.
Sedangkan di Jawa Timur, pemerintah kota Gresik menghukum para pelanggar protokol dengan memaksa mereka menggali kuburan bagi korban Covid-19.
Sedangkan di Sidoarjo, pelanggar protokol kesehatan harus bersihkan kuburan lokal.
Kemudian beberapa warga di Bogor, Jawa Barat, yang melanggar protokol kesehatan dibuat duduk di dalam ambulans bersebelahan dengan peti mati yang berisi jenazah.
Dipermalukan di depan umum
Selain menakut-nakuti warga dan berikan sensasi kematian, hukuman dipermalukan juga dipakai.
Jakarta dan Bogor adalah dua kota yang juga terapkan hukuman dipermalukan, yaitu dengan push-up dan menyapu jalan.
"Kami mengawasi warga di fasilitas umum dan tempat publik, tempat-tempat untuk aktivitas sosial, dan mengawasi siapa saja yang tidak menggunakan masker dan berikan berbagai sanksi menurut aturan pemerintah.
"Ini bervariasi mulai dari peringatan tertulis, kerja sosial dan denda," ujar kepala unit aturan kesehatan masyarakat, Arifin.
Di Bengkulu, beberapa pelanggar protokol kesehatan harus berfoto menggunakan kalung yang tunjukkan mereka telah melanggar protokol kesehatan.
Ada lagi di Papua tepatnya di Jayapura, para pelanggar protokol diharuskan menggunakan rompi oranye dengan tulisan 'orang ceroboh' di rompi tersebut.
Tentu saja pemilihan warna oranye bukan tanpa alasan, yaitu mengingatkan rompi khusus untuk para koruptor yang ditangkap oleh KPK.
Ada lagi hukuman berupa menari dengan badut bagi para pelanggar protokol kesehatan, tepatnya di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Seberapa efektif?
Kini pertanyaan yang muncul adalah, apakah hukuman ini efektif?
Veronica Anastasia Melany Kaihatu, dosen psikologi sosial di Universitas Pembangunan Jaya, mengatakan mencoba menakuti warga dan mempermalukan mereka justru tidak akan mengedukasi warga atau meyakinkan publik mengenai bahaya Covid-19.
Warga hanya akan takut sementara waktu atau terkejut, tapi tidak akan mengubah perilaku mereka.
"Sayangnya, setelah mereka takut atau terkejut, dan pelanggar tersebut bisa berpikir logis, mereka akan melihat pengalaman itu sebagai cara dipermalukan oleh pemerintah," ujarnya.
"Menggali makam, duduk di ambulans memang berikan pengetahuan bahwa ada banyak orang yang meninggal karena Covid-19.
"Sehingga setidaknya, itu meningkatkan pengetahuan mengenai situasi Covid-19," ujarnya.
Namun ia ragukan kewajiban moral akan meningkat dengan hukuman seperti itu, dan metode itu tidak efektif.
Ia paparkan bagaimana pun upaya pemerintah menginformasikan bahaya Covid-19 dan terapkan protokol kesehatan yang harus dipatuhi, banyak yang masih tidak mengerti apa itu pandemi.
"Hal ini dipersulit saat informasi dari pemerintah simpang siur. Mall dibuka tapi sekolah ditutup. Sebelumnya, masker apapun bisa digunakan, sekarang masker scuba tidak boleh dipakai.
"Hal seperti itu akan membuat warga apatis karena informasi berubah sangat cepat dan memaksa mereka mengubah perilaku mereka lagi dan lagi.
"Akhirnya, kepercayaan warga menurun, dan perilaku kooperatif juga semakin menurun."
Perlu diingat, dengan kasus infeksi tertinggi di Asia Tenggara, seharusnya edukasi publik semakin diketatkan. Upaya gunakan hantu ataupun cara mempermalukan di depan umum sudah tidak akan efektif.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini