Find Us On Social Media :

Main Cantik Hingga Nyaris Tak Terendus, Inggris Ternyata Punya Peran dalam Penghancuran Timor Leste, Bahkan Australia Juga Disebut-sebut Tak Ada Bedanya dengan Penjajah Meski Bertingkah Sok Pahlawan

By Afif Khoirul M, Sabtu, 10 Oktober 2020 | 14:49 WIB

Bendera Timor Leste.

Intisari-online.com - Seperti yang kita ketahui dan secara umum diketahui dunia, Indonesia melakukan invasi ke Timor Leste tahun 1975 dalam rangka mempertahankan wilayahnya.

Dalam invasi itu ada peran Amerika yang secara aktif membantu memasok senjata hingga otak di balik invasi tersebut.

Akan tetapi, dalam sebuah dokumen, yang dikutip dari Independent Australia, pemerintah Inggris, Australia, dan Amerika disebut-sebut terlibat di dalamnya.

Hal itu diungkapkan dalam penelitian terbaru di Arsip Nasional (UK) tahun 2017,  mengenai British Foreign and Commonwealth Office (FCO) dan Timor Leste.

 Baca Juga: Susah Payah Merdeka dari Indonesia, Nyatanya Timor Leste Pernah Porak-poranda Hanya Karena Satu Orang, Berani Tembak Presidennya sampai 150 Militer Australia Kewalahan Menangkapnya

Ada tiga poin dalam penelitian tersebut, salah satunya Inggris disebut-sebut terlibat dalam penghancuran Bumi Lorosae.

Inggris dipandang memiliki informasi yang jelas melalui hubungan kedutaan dengan Australia, dan semua peristiwa dan perkembangan Timor Leste sebelum dan sesudah invasi Indonesia.

Kedua, Inggis seperti rekan Australia, mereka tahu banyak tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Leste.

Ketika hal yang paling mengejutkan adalah campur tangan Inggris berhubungan dengan Indonesia dalam invasi Timor Leste.

 Baca Juga: 'Putus Asa' Sanksi yang Dijatuhkan Trump Bikin Ekonomi Memburuk, Iran Terpaksa Minta Bantuan China, Inilah Keuntungan yang Didapat China

Inggris dikatakan mencoba merongrong hak asasi manusia di Timor Leste, demi memperluas hubungan diplomatiknya dengan Indonesia.

Padahal dalam kasus ini, Inggris adalah negara yang suka menguliahi negara lain soal hak asasi manusia, tetapi secara sadar dan terang-terangan, Inggris mendukung dalam genosida dan pemusnahan Timor Leste oleh Indonesia.

Memang, AS dan Inggris (termasuk Australia) mempertahankan hubungan militer, penjualan senjata vital, dan terus memberikan perlindungan diplomatik kepada militer Indonesia dalam invasi ini.

Dukungan semacam itu yang diberikan secara bebas dan terang-terangan hampir secara total mengabaikan etika terhadap semangat hukum internasional.

Militer Indonesia tidak akan pernah serius memikirkan dampak agresi apa pun terhadap Timor Leste.

Apalagi dalam pendudukannya selama 25 tahun telah merenggut nyawa hingga 200.000 pria, wanita dan anak-anak.

Baca Juga: Rutin Dikunjungi Kim Jong-un, Termasuk saat Hadapi AS, Inilah Gunung Paektu, Gunung Keramat Korea Utara yang Terakhir Meletus Seribu Tahun Lalu

Penting untuk ditekankan bahwa informasi tentang kejadian-kejadian di Timor Leste seringkali sangat akurat.

Hal ini tidak hanya ditunjukkan oleh dokumentasi yang dimiliki saat ini tentang apa yang terjadi antara tahun 1975 dan selama 1999.

Invasi itu didukung secara aktif oleh orang Australia, Inggris, Amerika, Jepang, Eropa dan sebagainya.

Meskipun terdapat pembatasan yang ketat di Timor Leste, kesaksian, pengungsi dan sumber lain terus memberikan informasi yang akurat untuk pendukung hak asasi manusia dan advokat di luar.

Jurnalis seperti Independent Australia John Pilger bahkan diam-diam memasuki wilayah tersebut dan merekam film dokumenter Death of a Nation.

Dia menyoroti tidak hanya bencana hak asasi manusia, tetapi juga keterlibatan orang Australia, Inggris dan Amerika.

Baca Juga: Menham Prabowo Subianto Diundang Menhan AS: Saking Akrabnya Militer Indonesia dan Militer AS, Mereka Tak Hanya Latihan Militer, Tapi Juga Lakukan Hal Ini

Jurnalis lain seperti Max Stahl dan Amy Goodman berperan penting dalam pembuatan film dan menyaksikan Pembantaian Dili.

Namun, ada juga pihak lain yang sangat tahu tentang kejadian di Timor Timur dan Indonesia secara umum, pemerintah Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.

 Sulit untuk membayangkan, bahwa kenyataanya dalam arsip itu, menjelaskan lembaga diplomatik Barat, terlibat dalam berbagai kejahatan ini.

Pola ini berlaku hampir sampai akhir 1999, dan baru rusak setelah protes dan referendum menuntut tindakan invasi itu.

Dalam dokumen Australia dan Inggris, secara ekonomi, militer dan diplomatik, mereka bertanggung jawab atas kejahatan sistematis terhadap kemanusiaan dalam jangka waktu lama (1975-1999).