Find Us On Social Media :

Kudeta Berdarah Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli, Awal Mula Jatuhnya Rezim Orde Baru Soeharto: ''Soerjadi 'Disponsori' Rezim Orde Baru karena Saat Itu Megawati Terpilih Sebagai Ketua Umum Partai''

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 22 September 2020 | 16:11 WIB

Soeharto ketika dilantik/disumpah menjadi presiden.

Tak hanya itu, perlawanan yang dilakukan Megawati juga digelorakan dengan membuat gerakan Mimbar Bebas.

"Mimbar demokrasi Megawati Soekarnoputri membuat rakyat mengkritik rezim Orba, rezim orba ketakutan sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Diawali dengan kenaikan suara partai PDI pada tahun 1987 dan 1992," jelas Asvi.

"Kenaikan suara menghawatirkan rezim. Di masa rezim orba tidak boleh ada oposisi," sambung dia.

Aspek Internasional di Balik Peristiwa Kudatuli

Baca Juga: Didepak Karena Ingin 'Kudeta' Permaisuri, Mantan Selir Raja Thailand Ini Ternyata Bukan Orang Sembarangan

Selain itu, ada aspek internasional melingkupi peristiwa itu. Pada 23-25 Juli 1996, Menlu Amerika Serikat (AS) Warren Christopher datang ke Indonesia untuk hadir di pertemuan menteri-menteri luar negeri.

Di kesempatan itu, Christopher sempat bertemu dengan Komnas HAM dan Menlu Rusia Primakov.

Menurut penuturan Alm. Taufiq Kiemas, kata Asvi, sebenarnya pada 28 Juli 1996 Menlu Christopher akan bertemu dengan Megawati.

Namun sehari sebelum pertemuan itu, terjadi peristiwa kelabu 27 Juli 1996. Rezim Orba, menurut penuturan Asvi, tak ingin pertemuan antara Megawati dan Menlu AS terjadi.

Menlu AS dikenal sebagai sosok yang memberi perhatian terhadap masalah-masalah HAM di Indonesia dan beberapa negara lain di dunia.

"Ini aspek penting juga, bahwa peristiwa itu terjadi sehari sebelum terjadi pertemuan antara Megawati dan Warren Christopher," ujar Asvi.

Baca Juga: Pantas Selirnya Sampai Ingin 'Kudeta' Permaisuri, Ternyata Inilah Sumber Kekayaan Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, Sang Raja Terkaya di Dunia

Isi Percakapan Amir Syarifuddin dan Sutiyoso Ungkap Soeharto dan ABRI Dalang Kudatuli

Terkait dalang di balik peristiwa 27 Juli 1996, Asvi mengisahkan tulisan wartawan senior Rosihan Anwar yang rumahnya tidak jauh dari kantor PDI. Di hari kejadian, kebetulan Rosihan sedang berolahraga.

Menyaksikan kerumunan di DPP Partai PDI, Rosihan mendekat kepada Kapuspen ABRI yang saat itu dijabat Amir Syarifuddin.

Rosihan, kata Asvi, mengaku mendengar langsung bagaimana Amir bicara dengan Pangdam Jaya Sutiyoso lewat walkie talkie.

“Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti,” ucap Asvi menirukan Rosihan.

"Intinya Rosihan mengungkap bahwa semua kejadian ini permainan Soeharto dengan ABRI-nya," ujar Asvi.

Asvi menjelaskan, sebuah buku karangan Peter Kasenda mengungkap adanya pertemuan di Markas Kodam Jaya pada 24 Juli 1996.

Pertemuan tersebut mengungkap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempunyai peran di balik terjadinya peristiwa itu.

Baca Juga: Diduga Terinspirasi Film James Bond, Kim Jong Un Eksekusi Seorang Ajudan dengan Melemparnya Ke Tangki Berisi Piranha

"Ada pertemuan 24 Juli 1996 di Markas Kodam Jaya, dipimpin SBY dan disitu dibicarakan juga rencana mengambil alih kantor PDI ini."

"Jadi ada beberapa kemungkinan dalang atau aktor intelektual kejadian itu ditulis di media massa, tapi tak sampai ke pengadilan," urai Asvi.

Satu yang jelas, peristiwa 27 Juli 1996 adalah awal perlawanan rakyat yang sistematis terhadap rezim Orde Baru.

Karena rakyat merasakan benar tekanan keras kepada masyarakat dan partai politik.

"Kejadian ini juga sekaligus awal kejatuhan Orba di 1998," imbuh Asvi.

Namun, lanjut Asvi, yang lebih penting untuk menjadi refleksi dari peristiwa 27 Juli 1996 yakni fakta bahwa peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM sepanjang Orba itu masih banyak yang bersifat impunitas.

"Tidak benar-benar terselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran-pelanggaran HAM berat termasuk sejak tahun 1965-1998 itu masih terkatung-katung," tutup Asvi.

(*)

Artikel ini sudah pernah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul "Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli, Awal Mula Jatuhnya Rezim Orde Baru Soeharto"