Penulis
Intisari-Online.com - Timor Leste berdiri sendiri sebagai sebuah negara usai melepaskan diri dari Indonesia melalui referendum atau jejak pendapat.
Hasil referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999 menunjukkan bahwa mayoritas waga Timor Leste atau yang dulu merupakan Provinsi Timor Timur, menginginkan kemerdekaannya.
Untuk mencapai referendum Timor Timur, serangkaian 'peristiwa berdarah' terjadi.
Bermula dari hilangnya kekuasaan Portugis di Timor Leste dan terjadi kekosongan kekuasaan, Indonesia masuk menginvansi Timor Leste.
Kekhawatiran Presiden Soeharto bahwa komunis dapat masuk ke Indonesia melalui Timor Leste dan adanya dukungan dari Amerika Serikat memulai invansi tersebut.
Invansi yang dikenal sebagai operasi seroja digelar, mengerahkan ribuan tentara Indonesia untuk menduduki Timor Timur.
Pada tanggal 7 Desember 1975 operasi itu dimulai dengan perlawanan sengit dari Fretilin.
Tahun berikutnya, Timor Leste menjadi bagian dari wilayah Indonesia sebagai provinsi ke-27. Namun, pertumpahan darah di tanah Timor Leste masih saja terjadi.
Perjalanan Menuju Referendum Timor Leste
Kedatangan pasukan Indonesia ke Timor Leste justru semakin memperkeruh konflik. Korban-korban dari kedua pihak berjatuhan.
Upaya meredakan konflik terus dilakukan Pemerintah Indonesia, hingga membawa masalah ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebelumnya Indonesia melakukan perundingan dengan Portugis. Bahkan kedua negara membuat perjanjian referendum di Timor Leste pada 5 Mei 1999.
Perjanjian kedua negara tersebut dikenal sebagai New York Agreement.
PBB ikut mengawal dalam masalah ini dan membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) pada 11 Juni 1999.
Referendum Timor Leste Tak Mengakhiri Pertumpahan darah di Bumi Lorosae
Itulah sedikit cerita tentang bagaimana Timor Leste mencapai keputusan diadakannya referendum dan memisahkan diri dari Indonesia.
Namun, rupanya referendum Timor Leste tak menghentikan pertumpahan darah di Bumi Lorosae.
Segera setelah referendum dilakukan, justru kekacauan kembali terjadi di Timor Leste yang bernama resmi Republik Demokratik Timor Leste.
Mengutip Fotokita, setelah lebih dari 78% orang Timor memilih kemerdekaan dalam referendum yang hasilnya diumumkan pada 4 September 1999, milisi paramiliter pro-Indonesia yang marah menanggapinya dengan kekerasan.
Secara sistematis, mereka meruntuhkan kota, membakar bangunan, dan menyerang serta membunuh orang.
Sekitar 1500 warga Timor diperkirakan tewas dalam kekerasan itu, puluhan ribu meninggalkan rumah mereka ke gunung-gunung, dan pasukan Indonesia memaksa lebih dari 300.000 orang melewati perbatasan darat ke Timor Barat.
Kemarahan internasional memaksa pendirian INTERFET (International Force for East Timor atau Pasukan Internasional untuk Timor Timur.)
Itu dibentuk atas restu PBB dan dipimpin oleh Australia, pemain kunci dalam keputusan untuk campur tangan.
Kekacauan usai referendum Timor Timur berakhir usai kedatangan pasukan penjaga perdaiaman PBB.
Tidak ada pertanyaan bahwa INTERFET bekerja dengan baik, tetapi disebut keputusan Australia untuk pergi ke Timor Leste tidak hanya berprinsip ingin mengamankan kedaulatan negara tetangganya yang masih baru.
Kisah minyak Timor Leste
Dari kemerdekaan tersebut, hingga kini diyakini ada satu negara yang diuntungkan yaitu Australia.
Australia dituduh mengeruk jutaan dollar dari pendapatan minyak Timor Leste.
Hanya dua bulan sebelum kemerdekaan penuh Timor Leste dipulihkan, Australia menarik pengakuannya atas yurisdiksi Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan perselisihan batas laut.
Itu merupakan jenis diskusi yang tepat yang perlu dikumpulkan oleh Timor Leste tentang cadangan minyak dan gas yang menguntungkan terkubur jauh di dalam Laut Timor.
Bebas dari pandangan adjudicator independen, Australia mengambil pendekatan bullish dalam negosiasi atas kekayaan minyak dan gas multi-miliar dolar Laut Timor.
Negosiasi menghasilkan beberapa perjanjian untuk menggunakan sumber daya, tetapi tidak ada batas permanen.
Australia ingin menghindari adanya batas karena mereka tahu mereka mengklaim sumber daya yang bukan haknya untuk diambil.
Namun, jika ada batasan, hak pengambilan sumber daya itu akan jatuh secara sah ke tangan Timor Leste.
Jadi, Australia telah membuat rencana untuk menghindarinya. Tapi, rencana tersebut digagalkan.
Pada 2012, mantan perwira intelijen ASIS yang dikenal sebagai Witness K mengungkapkan bahwa Australia telah menyadap ruang-ruang di Timor Leste untuk mendapatkan keuntungan dalam negosiasi itu.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini