Penulis
Intisari-online.com - Sampai Hati Memelas Ingin Hidup di Bawah Negeri Bekas Penjajahnya, Terungkap Fakta Bobroknya Rezim Lebanon dan Mirisnya Kehidupan Rakyat di Beirut, Lebanon.
Seperti yang kita ketahui, Beirut Lebanon pada Selasa (4/8) mengalami insiden yang cukup mengerikan di mana ledakan dasyat terjadi.
Hal itu menyebabkan, ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya terluka akibat indisen tersebut.
Tak hanya itu saja, pasca ledakan itu, goncangan politik dasyat juga terjadi di negara Timur Tengah itu, seolah menunjukkan penderitaan yang tiada hentinya.
Melansir Daily Mirror pada Selasa (11/8/20), peristiwa besar yang menimpa Beirut, Lebanon itu, juga membuka tabir betapa tragisnya kehidupan di kota itu.
Menurut catatan, kehidupan di Beirut Lebanon, ternyata tak henti-hentinya lepas dari pasang surutnya penderitaan yang dialami rakyatnya.
Ledakan itu diibaratkan, bak jatuh tertimpa tangga begitulah situasi Beirut yang syarat akan penderitaan tiada habisnya.
Ibukota Lebanon, itu dulunya dijuluki Paris di Timur Tengah, sebuah kota yang identik dengan perang saudara brutal, penculikan Terry Waite dan bangunan bekas peluru yang menjadi saksinya.
Kini, usai ledakan yang menewaskan 150 orang dan 5.000 terluka menyebabkan, 300.000 orang Beirut makin menderita.
Konfrontasi besar-besaran terjadi, peluru karet dan gas air mata, kerumunan massa terlihat di mana-mana.
Rakyat Beirut menyuarakan kemarahan mereka pada rezim yang korup, ketidakmampuan penguasa politik mengantisipasi ledakan 2.750 ton amonium nitrat.
Orang-orang penting seperti Perdana Menteri Hassan Diab, seorang Muslim Sunni yang didukung Hizbullah mengundurkan diri.
Kabinetnya memilih menjadi juru kunci sampai pemerintahan baru terbentuk, negara itu diambang kehancuran total, dan jurang kebangkrutan juga menanti.
Lebanon membutuhkan setidaknya 4 miliar poundsterling, untuk memperbaiki kerusakan di kota Beirut tersebut.
Negara itu kini hanya bisa memelas pada bekas penjajahnya, Prancis, yang berusaha memastikan kekosongan politik di Beirut dan menjauhkan dari campur tangan Iran, Arab Saudi, Israel, dan Suriah.
Kondisi itu membuat negara itu seolah sudah tidak diperbaiki lagi, selain mendapatkan belas kasihan dari negara-negara kuat.
Di sisi lain, puluhan ribu penduduknya justru mendukung petisi yang menyerukan Lebanon untuk dikendalikan Prancis, negara yang merupakan bekas penjajahnya dulu.
Awalnya memang negara itu, memiliki perkembangan yang cukup drastis.
Namun, kemewahan demi kemewahan di Beirut perlahan merosot tahun 1975, akibat perang saudara selama 15 tahun meletus dan menciptakan perpecahan yang bertahan selama bertahun-tahun.
Perpecahan terjadi, di Beirut negara ini tidak memiliki identitas jelas, bikini dan hijab hidup berdampingan, emosi dan gairah bertabrakan.
Dolar bisa diterima di mana-mana, hampir semua orang berbicara dengan bahasa Inggris dan bahasa Prancis.
Para panglima perang digambarkan sangat korup, dan memerintah negara itu sejak 1990 sejak perang sudara dan perjanjian pembagian kekuasaan yang berbahaya.
Menyeimbangkan kontrol politik antara 18 sekte, yang berbeda.
Lebanon juga tak henti-hentinya terjerumus dalam krisis ekonomi, Lira Lebanon kehilangan 80% nilainya, pemadaman listrik kerap terjadi, hingga orang-orang kelaparan di jalanan.
Bahkan sebelum ledakan terjadi PBB mengatakan, satu juga orang Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan.