Penulis
Di Tengah Pandemi Covid-19, Mayat-mayat di Desa di Bali Ini Masih Tetap Diletakkan Begitu Saja di Bawah Pohon Tanpa Dikubur, Apa Alasan Mereka?
Intisari-Online.com - Masyarakat Trunyan Bali dikenal memiliki tradisi pemakaman yang unik.
Keunikannya yaitu jenazah di sana tidak dikuburkan di dalam tanah, melainkan dibiakan dalam posisi terbuka dan hanya dibalut kain saja.
Selama ini, tradisi tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan.
Menjadi warna dalam berbagai tradisi masing-masing daerah di Indonesia.
Rupanya, meski terjadi pandemi Covid-19, di mana berbagai hal mendapatkan aturan ketat terkait kesehatan, kebersihan, maupun pemakaman, tradisi Masyarakat Trunyan masih tetap dilakukan.
Melansir Bangkok Post (16/6/2020), Pejabat lokal di Bali mengatakan bahwa pemakaman Truyan masih dilakukan seperti biasa.
Mereka mengklaim virus Corona Baru, yang telah menginfeksi setidaknya delapan juta dan membunuh lebih dari 430.000 secara global, belum mencapai timur laut terpencil tempat Trunyan tinggal.
“Proses pemakamannya tetap sama tapi sekarang kami harus memakai masker,” jelas Kepala Desa Wayan Arjuna.
Baca Juga: Covid Hari Ini 7 Agustus 2020, WHO: Jumlah Kasus Covid-19 Pada Orang Muda Meningkat Tajam
Namun, untuk sementara wisatawan dilarang berkunjung karena takut mereka membawa penyakit.
"Kami takut tertular Covid-19," kata Arjuna.
Namun ia menambahkan tidak ada saran untuk menghentikan proses penguburan di ruang terbuka.
Tidak seperti banyak orang di Bali, yang mayoritas Hindu, orang Trunyan yang memadukan kepercayaan animisme dan adat istiadat desa tradisional dengan interpretasi mereka sendiri tentang Hindu.
Mereka tidak mengubur atau mengkremasi orang mati mereka.
Alih-alih, mereka membiarkan alam mengambil jalannya ketika mayat-mayat membusuk di tempat terbuka.
Mereka percaya bahwa itu adalah cara untuk menjaga hubungan dengan orang yang meninggal.
"Ini membuat kami merasa terhubung dengan orang yang kami cintai," kata Arjuna.
Arjuna pun mengaku merasakan hal tersebut ketika anggota keluarganya meninggal.
"Seperti saat nenek saya meninggal, saya merasa dia dekat", tambahnya.
Hanya Ada 11 Tempat untuk Jenazah, Digunakan Bergantian
Di pemakaman Truyan hanya ada 11 tempat atau kuburan saja.
Sebelas tempat kuburan itu ditempatkan dekat dengan pohon beringin harum yang menyembunyikan bau busuk kematian, kata penduduk setempat.
Jumlah ini memang sudah menjadi ketentuan secara turun temurun yang diwariskan oleh leluhurnya.
Kemudian jika tempat sudah penuh, maka mayat yang lebih tua dipindahkan ke sekitar kuburan untuk memberi tempat bagi jenazah yang baru.
Ketika tidak ada daging yang tersisa, tengkorak orang yang telah lama meninggal ditempatkan di atas altar batu, sampai mereka juga hancur kembali ke alam.
Di dekatnya, ada pemakaman kedua untuk orang yang belum menikah dan anak-anak, sedangkan lokasi ketiga adalah bagi mereka yang meninggal kematian yang tidak wajar seperti pembunuhan atau meninggal karena penyakit akut.
Selain itu, barang-barang milik orang yang meninggal juga diletakan di sekitar kuburan.
Sandal karet, bungkusan rokok, tabung pasta gigi, panci, dan wajan tersebar di sekitar lokasi, bersama dengan keranjang berisi koin dan uang kusut - semuanya ditinggalkan oleh para pelayat untuk kerabat yang meninggal untuk digunakan di akhirat.
Baca Juga: Peduli Tubuhmu; 6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Protein, Bau Mulut!
Meski begitu, warga di sekitar tidak akan mengambilnya.
“Warga tidak akan mengambil apa-apa karena milik orang mati. Itu keyakinan kami,” kata Wayan Sukarmin, pemandu veteran di Truyan.
"Saya tidak tahu apa konsekuensinya jika Anda mengambil sesuatu tapi saya percaya pada karma," tambahnya.
Orang Bali Aga, atau orang pegunungan, yang tinggal di desa-desa terpencil ini, mengklaim sebagai keturunan Bali asli dan pura utama di desa Trunyan berasal dari abad ke-10 menurut catatan sejarah.
Baca Juga: Manfaat Masker Lemon untuk Wajah, Ada Pula Manfaat Lemon untuk Bagian Tubuh Lainnya
Pemakaman Trunyan Tetap Dilakukan di Tengah Pandemi, Mengapa?
Asal usul kebiasaan penguburan di udara terbuka masih diperdebatkan.
Salah satu legenda mengatakan bahwa penduduk awal di daerah itu memperebutkan pohon beringin yang berharga itu, jadi untuk menjaga perdamaian, para pemimpin memutuskan untuk menempatkan orang mati di sana, percaya bahwa bau dari mayat akan membuat tempat itu kurang menarik.
Cerita lain menunjukkan bahwa ritual tersebut diadopsi untuk menghindari kemarahan gunung berapi di dekatnya dengan mengkremasi orang.
"Ada beberapa versi legenda jadi saya tidak bisa memutuskan mana yang benar," kata Arjuna.
Baca Juga: Tanda-tanda Hamil 30 Minggu, Sakit Maag dan Rasakan Ketidaknyamanan
Tapi penguburan terbuka ini sekarang begitu mengakar dalam budaya sehingga hanya sedikit yang berharap banyak perubahan di Trunyan, bahkan saat pandemi melanda dunia.
Menurut kepala satuan satuan tugas virus Bali, Dewa Made Indra, mencegah infeksi di tempat terpencil relatif mudah.
Belum ada kasus Covid-19 dilaporkan di Trunyan sehingga pemakaman masih dilakukan seperti biasa.
Meski begitu, dikatakan bahwa tidak menutup kemungkinan pemakaman akan ditangani dengan prosedur khusus jika terdapat kasus Covid-19.
"Ini relatif lebih mudah untuk mencegah infeksi di tempat-tempat terpencil dan jauh," kata kepala satuan tugas virus Bali Dewa Made Indra.
"Tidak ada kasus yang dilaporkan di Trunyan. Tetapi jika itu terjadi maka kita akan menanganinya dengan prosedur khusus dan saya pikir penduduk desa akan mengerti."
(*)