Penulis
Sejarah Lebanon, Wilayah yang Berulang Kali Berpindah Kekuasaan dari Era Prasejarah Sampai Menjadi Bagian Peradaban Islam yang Gemilang, Hingga Alami Perang Saudara Karena Israel
Intisari-online.com - Negara Lebanon yang ibukotanya Beirut baru saja mengalami ledakan hebat akibat amonium nitrat, rupanya memiliki sejarah panjang.
Dimulai sejak Era Pra-Sejarah yaitu sekitar tahun 3000 sebelum Masehi (3.000 BC), Lebanon pertama kali ditempati oleh bangsa Semit Kana'an.
Bangsa Semit Kana'an disebut juga oleh Yunani sebagai "Phoenician".
Karena berdiam diri di daerah pantai, bangsa Phoenician terkenal dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Pusat kekuasaannya berada di Byblos, sekitar 30 km utara Beirut.
Sementara di Sidon atau sekitar 25 km selatan Beirut, mereka mendirikan sebuah benteng kuat dan indah yang dibangun di atas pantai.
Demikian pula dengan di Baalbek, dibangun candi dewa Yupiter yang kemegahannya tak kalah indah dengan candi-candi di kota Luxor dan Aswan, Mesir.
Selanjutnya Era Roman-Bizantium, pada 332 SM Romawi menaklukkan Phoenicia dan memerintah Lebanon yang kala itu masih menjadi bagian dari Provinsi Suriah.
Pada kekuasaan Romawi itu, kota Beirut (Beyrouth) mulai berkembang.
Bahasa Aramaic yang dominan di timur pun menggeser bahasa Phoenicia dan manandai integrasi budaya di kawasan tersrebut dengan negara-negara tetangganya.
Pada era kekaisaran Romawi inilah agama Kristen mulai berkembang di Lebanon.
Kemudian ketika Islam masuk ke Suriah dan Lebanon pada tahun 632 Masehi di bawah dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Lebanon mulai bangkit menjadi masyakarat modern.
Pada era ini, Bahasa Arab menjadi bahasa resmi Lebanon dan kehidupannya menjadi bagian dari peradaban Islam yang gemilang.
Hal ini berlangsung hingga 1099 ketika para penganut Kristen dari Eropa (Crusader) menaklukkan Lebanon dan negara-negara sekitar di kawasan tersebut.
Selain memperluas ajaran Kristen, mereka juga berusaha membendung proses Arabisasi dan Islamisasi yang mengalir secara damai dalam masa pemerintahan Islam.
Sehingga para Crusader dari Eropa tersebut berusaha sekuat mungkin menancapkan pengaruh Kristen dengan cara menghidupkan budaya Barat di tengah-tengah kehidupan Islam.
Tetapi pada 1187 Kesultanan Mamluk berhasil menggulingkan dinasti Crusader serta menguasai Lebanon dan Suriah hingga tahun 1500.
16 tahun kemudian yaitu mulai pada 1516, Imperium Ottoman mengambil alih penguasaan Lebanon dari Mamluk.
Mereka memerintah Lebanon melalui keluarga Maan (1516-1697) dan Shihab (1697-1842) yang keduanya berasal dari golongan Druze.
Saat itu persaingan antara kelompok Kristen Maronit dan muslim Druze memanas yang berakhir dengan perang saudara pada tahun 1841, 1845, dan 1860.
Pada masa itu juga masa berakhirnya pemerintahan ala dinasti para Emir (Pangeran) dan munculnya Pemerintahan Mutasyarrifiyah (Gubernur) Pemerintahan Ottoman di bawah pengawasan (mandat) lima negara.
Selanjutnya konferensi San Remo di Italia tahun 1920 memutuskan memberi mandat kepada Perancis untuk memegang pemerintahan di Lebanon dan Suriah.
Selama memerintah di Lebanon, Perancis mempunyai niat baik terhadap negara ini dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada masyarakat sehingga mayoritas rakyat Lebanon menerima Lebanon sebagai mandataris Perancis.
Bahkan mereka menuntut agar Lebanon dipisahkan dari Suriah sehingga dapat berdiri sendiri.
Kendati demikian, kebebasan penuh baru dapat dinikmati rakyat Lebanon setelah pasukan Perancis yang paling terakhir meninggalkan negeri ini pada tahun 1946 (walaupun secara resmi Lebanon merdeka tanggal 22 Nopember 1943).
Pada tahun 1975, terjadi insiden ketika seorang warga Lebanon dan kelompok orang Palestina di Ain ar-Rummanah, Beirut berperang dengan kelompok yang berasingan dan didukung oleh sejumlah negara tetangga.
Orang-orang Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Phalangis dan milisi, mula-mula bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).
Sementara itu fraksi-fraksi lainnya bersekutu dengan Suriah, Iran dan negara-negara lain di wilayah itu.
Sejak 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.
Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan korban hingga ribuan orang.
Beberapa pembantaian yang terjadi selama periode ini termasuk pembunuhan di Karantina Januari 1976 oleh pihak Palangis terhadap para pengungsi Palestina, pembantaian Damour pada Januari 1976 oleh PLO terhadap orang-orang Maronit dan pembantaian oleh Tel el-Zaatar Agustus 1976 oleh Palangis terhadap orang-orang pengungsi-pengungsi Palestina.
Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum sipil Lebanon dan Palestina.
Jumlah korban keseluruhan selama masa perang saudara ini di perkirakan sampai 150.000 orang.
Perang itu juga menambah jumlah imigran Lebanon yang eksodus ke luar negeri dimana hingga saat ini diperkirakan mencapai 14 juta jiwa.
Pada 1989 semua wakil kekuatan politik, partai dan sekte keagamaan sepakat mengadakan rekonsiliasi nasiaonal yang di kenal dengan “Taif Agreement” di bawah sponsor Saudi Arabia dan Suriah.
Dengan Taif Agreement perang saudara berakhir.
Kehidupan berpolitik dan bernegara diatur dengan formulasi baru berdasarkan konstitusi yang mengalami perubahan yang disepakati dalam rekonsiliasi nasional.
(Virdita Rizki Ratriani)
Artikel ini telah tayang di kontan.co.id dengan judul "6 Fakta tentang Lebanon, yang ibukotanya dijuluki Paris di Timur Tengah"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini