Find Us On Social Media :

Baru Selesai Melahirkan, Wanita-wanita Suku Boti Langsung 'Dipanggang' di Atas Bara Api Selama 40 Hari Lamanya, Ternyata Ini Tujuannya

By Mentari DP, Minggu, 2 Agustus 2020 | 12:50 WIB

Kisah wanita suku Boti yang baru selesai melahirkan.

Intisari-Online.com - Setiap suku itu unik. Mereka punya ciri khasnya masing-masing.

Termasuk suku Boti.

Suku Boti adalah mereka yang tinggal di daerah Kecamatan Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Seperti apa kisah suku Boti?

Baca Juga: Viral Orang Minum Darah Sapi Kurban: Agar Gemuk dan Terlihat Seksi, Para Pria di Suka Terpencil Ini Justru Jadikan Darah Sapi Sebagai Minuman Sehari-hari

Inilah pengalaman wartawan Intisari LR. Supriyapto Yahya yang pernah bertandang ke sana.

Dengan ramah, Nune Ambenu (80), sang kepala adat merangkap kepala suku, serta beberapa orang lainnya, menyambut kedatangan mereka. 

Kata orang, suku Boti masih hidup primitif.

Namun, setelah masuk ke rumah si kepala adat ini, pikiran itu segera hilang.

Barang-barang modern cukup banyak memenuhi ruang tamu rumah: sofa, televisi, jam dinding.

Baca Juga: Hanya Gunakan Layang-layang dan 'Bom Kondom', Militan Palestina Sukses Buat Tentara Israel Kewalahan, hingga Kerahkan Sniper Andalan Mereka 

Di sini semangat hidup bergotong royong masih sangat tebal. Serta penampilan orang Boti sederhana.

Mereka nampaknya juga tidak pernah menggunakan alas kaki, sehingga telapak kaki mereka sangat tebal.

Padahal, daerah tempat tinggal mereka masih berupa tanah kering dan berbatu karang.

Kaum lelakinya, terutama generasi tua, umumnya tidak mencukur rambutnya.

Rambut mereka yang panjang itu digelung menjadi konde, persis Brama Kumbara dalam film Saur Sepuh.

"Dipanggang" di atas bara

Dalam hal pengobatan pun orang Boti masih menggunakan obat tradisional, yang diambil dari tanam-tanaman yang mereka usahakan sendiri.

Itu bukan berarti mereka tidak mengenal cara pengobatan yang lebih modern.

"Di sini pun puskesmas sudah ada."

"Kami akan membawa si sakit ke puskesmas, jika ia sudah tidak bisa sembuh diobati dengan obat tradisional," kata salah seorang anak buah Nune.

Kalau ada seorang ibu hendak bersalin, biasanya seorang dukun beranak akan membantunya.

Selesai melahirkan, si wanita dimandikan dengan air hangat dan kemudian dibaringkan di balai-balai.

Baca Juga: Berbulan-bulan Terinfeksi Covid-19, Beberapa Pasien Mulai Alami Gejala Tak Lazim, Dokter: Itu Mungkin Karena Efek Traumatis Tubuh

Sementara itu di bawahnya diletakkan bara api untuk "memanggang".

Maksudnya, agar tenaga serta kekuatan wanita itu pulih kembali.

Hal itu berlangsung selama empat puluh hari. Setelah itu si wanita dianggap sudah sehat kembali.

Setelah si bayi berumur empat puluh hari ia akan dipakaikan kalung, diberi uang dsb.

Ini merupakan simbol demi masa depan si anak.

Meskipun hidup jauh dari kota, tidak berarti orang Boti tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya.

"Seorang putra kami juga sempat kuliah di Kupang, namun tidak selesai dan sekarang berwiraswasta," jelas istri Nune yang berusia 78 tahun.

Terhadap kemajuan zaman, orang Boti juga tidak menutup diri.

Mereka akan menerima segala hal, asal tidak merusak tata cara kehidupan dan budaya mereka sendiri.

Ini membuat orang tidak segan datang mengunjungi mereka.

Buktinya, sejak 1989, sekitar 60 - 70% dari 247 tamu yang tercatat dalam buku tulis yang dijadikan buku tamu mereka adalah orang asing dari berbagai negara, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Australia.

Para pengunjung ini memiliki berbagai macam profesi, ada mahasiswa, wisatawan, peneliti dsb.

Baca Juga: 20 Hari Diisolasi Sebelum Dinyatakan Sembuh dari Covid-19, Presiden Brasil Sebut Ada 'Jamur' di Paru-parunya, 'Saya Merasa Lemah'

Orang Boti, yang sering dikatakan masih primitif, ternyata sangat hangat dalam menerima tamu.

Ketika saya meminta mereka untuk difoto, dengan senang hati mereka segera mengatur diri.  

Waktu saya berpamitan, dengan kehangatan seorang ayah, Nune Ambenu membimbing lengan saya menuju jip.

Seakan-akan ia tidak ingin melepaskan saya, sampai saya masuk ke kendaraan yang akan membawa saya pergi dari kenangan yang menyenangkan itu.

Lambaian tangan mereka terasa sangat tulus, sampai kami hilang di belokan batu cadas, sementara musik terus bertalu mengiringi keberangkatan kami.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1992)

Baca Juga: Tak Tahu Kapan Sekolah Dibuka Kembali, Mendikbud Nadiem Makarim Izinkan Dana BOS Dipakai untuk Beli Kuota Internet, 'Buat Guru, Siswa, dan Orangtua Siswa'