Penulis
Intisari-online.com -Ada yang berbeda di Ramadan tahun ini.
Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Issam Jadeed, pengangguran di Tripoli, Lebanon.
Ia duduk termenung di bawah kanopi Masjid Agung Mansouri, meski sudah diusir berkali-kali oleh penjaga masjid.
"Masjid ini tutup. Bayangkan! Sudah hampir Ramadan dan kita tidak bisa beribadah karena Corona," ujarnya.
"Ini salah. Ini rumah Allah. Di dalamnya kita pasti aman, aamiin."
Issam hanyalah satu dari sekian banyak muslim di Tripoli yang frustrasi karena Ramadan terganggu oleh Covid-19.
Masjid di Tripoli normalnya saat Ramadan sama halnya seperti di Indonesia, perintahkan ritual beribadah agar semua muslim mengikuti.
Namun polisi menutup masjid berminggu-minggu yang lalu ketika ketakutan virus Corona muncul di Timur Tengah, termasuk di Iran yang menjadi episentrum wilayah tersebut.
Penutupan masih berlanjut, membuat 1.8 milyar umat Muslim di seluruh dunia merasa Ramadan tahun ini tidak lengkap.
"Hati para muslim terikat pada masjid. Hati kami terasa terbakar di situasi seperti ini. Tidak hanya terbakar, sudah seperti gunung meletus," ujar Syekh Firas Balloot, kepala divisi agama di Departemen Endowmen Islam Tripoli.
"Jika api tidak ada di sini, maka kami tidak memiliki keyakinan; kami hanyalah batu. Namun ada kepentingan lebih besar dan isu kesehatan."
Di Tripoli, Ramadan melambatkan tempo kota. Azan memanggil seluruh muslim untuk datang ke masjid dan salat bersama.
Ramadan kali ini tidak ada buka bersama atau iftar, tidak ada salat tarawih, sama halnya dengan di Tripoli.
Di Tripoli, setelah tarawih umat muslim akan berjalan menuju kafe dan restoran di pasar kuno Tripoli untuk sahur dan menutup malam mereka.
Setelah itu mereka kembali ke masjid untuk salat subuh.
Semua ini akan terhenti karena virus Corona, yang telah menginfeksi 682 orang di Lebanon dan 22 orang meninggal.
Jumlah kasus di Lebanon, Turki dan Iran digabungkan mencapai lebih dari 184 ribu kasus.
Pemerintah Lebanon takut jika penyebaran dapat melumpuhkan sistem kesehatan, sehingga melarang orang-orang berkumpul dan menutup semua tempat publik sejak awal Maret.
Diterapkan jam malam yang dimulai pukul 7 petang sampai 5 subuh, yang diganti sejam lebih awal untuk waktu ibadah sholat subuh.
"Aku tidak bisa mengatakan satu hal yang kurindukan di Ramadan ini, Aku rindu semuanya," ujar Osama Shehadeh, imam di Masjid Beh, Tripoli.
Ia menyebutkan tahun ini tarawih dibatalkan, sehingga dia tidak akan kembali ke masjid setelah mengumandangkan azan.
Ia juga tidak akan mendengar suara anak-anak kecil membaca Al Quran belajar tajwid.
Hal yang sama juga terjadi di masjid Sayedah Khadijah, seperti yang dijelaskan oleh imamnya Abdul Rahman Khadher.
"Tiap tahun, kami menyiapkan kelompok belajar atau lomba Ramadan, sehingga keluarga berpartisipasi mengingat ayat Al Quran, dan anak kecil menang untuk pengetahuan agama mereka, acara untuk menguatkan koneksi dengan Allah," ujar Khadher.
Ia sebutkan jika masjid juga siapkan sumbangan dan bagikan makanan iftar gratis bagi yang warga miskin,
Namun semuanya digagalkan, tetapi kedua pemimpin religius bertekad untuk mengubah krisis menjadi kesempatan.
Shehadeh telah siapkan warga muda untuk merekam mereka sendiri untuk lomba tajwid; Khadher telah luncurkan seri web pendidikan agama, dan berniat untuk siarkan sesi pelajaran di media sosial masjid mereka.
Uang yang biasanya digunakan untuk hadiah akan digunakan untuk kelengkapan sosial.
"Aku sedih, tetapi kesedihanku tidak akan membantu apapun," ujar Shehadeh.
"Membuka masjid akan seperti memberangkatkan bus penuh penumpang tanpa rem. Jika segala sesuatu terjadi pada orang di dalamnya, aku bertanggung jawab sebelum Allah."
Balloot mengatakan jika sejak awal lockdown beberapa orang di Tripoli telah melawan untuk masuk ke masjid demi lakukan sholat Jumat.
"Untukku, departemen endowment Islam melakukan kejahatan," ujar Abdul-Rahman Faeq, penjual rempah di Pasar Kuno Soul Al Attareen.
"Memang benar mereka harus hentikan virus, tetapi tidak seharusnya memblokir pintu untuk beribadah. Kita sedang masa sulit dan harus kembali ke Allah."
Ramadan juga menjadi waktu sakral layaknya Natal di Amerika Serikat, pasar menjadi ramai dan banyak yang membeli bahan makanan.
Namun bagi para penjual dagangan mereka merasa tidak laku.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini