Penulis
Intisari-Online.com – Semoga tidak mengalami kejadian seperti yang menimpa Kenya.
Seorang sekretaris sebuah perusahaan pengadaan peralatan teknologi informasi di negeri itu uring-uringan akibat dokumen yang dicarinya tidak ditemukan.
"Makanya, kalau menyimpan dokumen jangan jorse (jorok sekali - Red.)," timpal temannya melalui fasilitas chatting.
Dokumen yang semakin lama semakin menumpuk memang menjadi persoalan saat kita tidak membutuhkannya untuk sementara waktu.
Berbeda dengan media dokumen yang semakin lama semakin baik, tempat penyimpan dokumen sendiri masih tampak ketinggalan.
Baca juga: Mau Tahu Kehidupan Adolf Hitler? Kita Bisa Melihatnya dalam Arsip Washington
Belum ada gagasan yang secara sengaja menyimpan dokumen pada tempat khusus untuk kepentingan referensi atau kepentingan lainnya.
Kesadaran atas penyimpanan dokumen, khususnya yang berkaitan dengan bahan tidak kalah gengsi dengan kepala rumah tangga istana yang disebut major domo.
Kebutuhan untuk menyimpan arsip makin nyata setelah abad ke-16. Kala itu penyimpanan arsip masih menyatu dengan perpustakaan. Bahkan masih mengadopsi sistem klasifikasi desimal.
Namun, dengan meningkatnya volume dan informasi yang terkandung dalam arsip membuat klasifikasi desimal susah diterapkan.
Baca juga: Penting Banget! Hari Ini Batas Terakhir Registrasi Kartu SIM atau Diblokir Total
Akhirnya, disusun sistem klasifikasi arsip tersendiri sesuai dengan tugas dan fungsi setiap organisasi.
Tempat penyimpanan arsip (central filing) dalam suatu organisasi diketahui pertama muncul sekitar tahun 1919.
Sejak itu di berbagai organisasi pemerintah atau swasta mulai menyelenggarakan tempat penyimpanan arsipnya (records center), terutama di negara-negara maju.
Namun, keberadaan records center ini terbilang terlambat jika dibandingkan dengan berdirinya lembaga kearsipan (Arsip Negara/Arsip Nasional) untuk menampung dan menyimpan arsip statis (arsip yang sudah tidak lagi digunakan oleh suatu organisasi, namun berfungsi sebagai sumber sejarah dan penelitian).
Arsip Nasional pertama didirikan di Prancis tahun 1789 dan di Inggris tahun 1838. Indonesia sendiri secara resmi memiliki Arsip Nasional tahun 1925 di zaman Hindia-Belanda.
Keberadaan arsip dan jenis dokumen lainnya, meskipun kini telah diupayakan keselamatannya secara optimal, tidak jarang banyak pula yang rusak atau musnah sama sekali, baik oleh bencana alam atau ulah manusia.
Banjir yang terjadi di Florence tahun 1966 menghancurkan dua juta naskah. Gempa bumi tahun 1985 di Meksiko menghancurkan arsip yang berada di Arsip Nasional Meksiko.
Kebakaran di Los Angeles memusnahkan sekitar 1.250.000 bahan pustaka. Di St. Pietersburg sebanyak 300.000 buku koleksi Perpustakaan Akademi llmu Pengetahuan dilalap si jago merah.
Menghadapi ancaman seperti itu, badan-badan intemasional macam UNESCO dan International Council on Archives (ICA) telah memberikan berbagai petunjuk tentang bagaimana cara melindungi arsip dari pelbagai bencana, entah bencana alam, perang, sabotase, atau peristiwa lainnya.
Meski tidak menjamin selamat 100%, setidaknya bisa mengurangi dampak kemusnahan dokumen.
Pihak UNESCO juga menyarankan untuk memanfaatkan teknologi penyimpanan sebagai salah satu cara untuk mengatasi hilangnya atau musnahnya dokumen asli.
Dokumen yang penting direkam pada sarana penyimpanan elektronik itu dan disimpan di tempat penyimpanan tahan api dan air.
Dengan begitu, Kenya pun tak sampai uring-uringan akibat dokumen yang dicari tidak ketemu. (Drs. Boedi Martono – Intisari Januari 2006)
Baca juga: Kabar Bahagia, Donald Trump Izinkan Pengungkapan Dokumen Pembunuhan John F. Kennedy