Penulis
Intisari-Online.com - Setiap tempat biasanya memiliki tradisi turun temurun, bahkan masih dipegang hingga saat ini.
Bagi kita yang melihatnya, berbagai tradisi tersebut bisa jadi kita anggap begitu unik.
Seperti tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Nepal ini.
Di Nepal, ada tradisi untuk anak perempuan yang belum pubertas dianggap memiliki kemungkinan menjadi Dewi Kumari.
Masyarakat Nepal percaya kehidupan mereka dilindungi, dijaga dan diawasi oleh seorang dewi yang dijuluki Kumari.
Sejak pemerintahan Dinasti Malla, setiap kota di Kathmandu memiliki seorang Kumari.
Selama berabad-abad pula, anak perempuan yang belum mengalami pubertas diubah menjadi sosok Dewi Kumari yang dipuja masyarakat Nepal.
Pemimpin dari berbagai negara pun datang untuk beribadah dan memujanya, sembari meminta restu ketika hendak membuat peraturan baru.
Tradisi Kumari ini berawal di abad 12-17 Masehi sejak pemerintahan Raja Jayaprakash Malla memimpin Dinasti Malla.
Sebutan Kumari berasal dari bahasa Sansekerta yang digunakan masyarakat adat Newar di Kathmandu yang berarti putri.
Dulunya Kumari dipilih oleh ratu yang memerintah, namun kini Kumari dipilih oleh kepala pendeta.
Kumari digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki tiga mata, dua di sisi kiri dan kanan dan satu lagi di tengah kening.
Anak perempuan yang menjadi sosok Kumari berusia mulai dari dua tahun, dan berhenti ketika mengalami menstruasi.
Masyarakat Nepal percaya jika kesucian dan kemurnian Kumari akan berakhir ketika ia mengalami pendarahan pertama.
Cara pemilihan sosok Dewi Kumari ini cukup unik, dimana anak-anak perempuan yang masih berusia di bawah tiga tahun dikumpulkan di sebuah kamar yang gelap dan disuruh berdoa.
Kemudian pendeta akan mencari pertanda yang disebut sebagai Battis Lakshanas atau 39 ciri kesempurnaan fisik.
Beberapa ciri yang dicari dari anak-anak perempuan yang menjadi calon Kumari adalah paha yang seperti paha rusa, dada bidang layaknya singa, dan bulu mata seperti yang dimiliki sapi.
Selain itu, Kumari yang terpilih biasanya tidak memiliki noda atau bekas luka dalam tubuh mereka.
Uniknya, untuk menjaga kesucian dan kemurniaan, anak-anak perempuan yang menjadi sosok Dewi Kumari tidak diperbolehkan menginjak tanah meski hanya sebentar.
Tidak hanya menginjak tanah, Kumari juga tidak diperbolehkan untuk berbicara dengan orang lain kecuali keluarga intinya saja.
Sebagai seorang Kumari, anak-anak perempuan tersebut juga tidak diperbolehkan meninggalkan singgasananya dan harus selalu duduk ketika orang-orang datang untuk berdoa dan beribadah.
Seorang Dewi Kumari hanya keluar dari kuil sehari dalam setahun pada saat festival Bhoto Jatra.
Festival yang diadakan untuk mensyukuri nikmat atas datangnya musim hujan dan panen.
Saat festival berlangsung, semua orang akan berdiri di pinggir jalan membawa anak-anaknya sambil berlutut.
Di sana, Kumari hanya boleh digotong dengan tandu emas atau digendong oleh pengawal khusus.
Sebagai representasi dewi yang menciptakan semesta alam dari perutnya, warga menganggap bahwa wajar jika kehidupannya tak sama dengan orang pada umumnya.
Seorang mantan Kumari pertama, Somika Boyrachasta menceritakan mengenai kehidupan normalnya usai kasakedewiannya berakhir, dikutip TribunTravel dari The Asian Parent.
Setelah menjalani kehidupan normal, Somika mulai bisa menyesuaikan diri dengan bekerja sambil kuliah.
Somika mengakui jika kehidupannya berbalik 180 derajat setelah dirinya mengalami menstruasi.
"Tidak ada lagi pemujaan, tidak ada lagi kunjungan orang-orang. Hidup yang aku dan keluarga jalani pasca Kumari jadi begitu sulit," ujar Somika.
Chanira Bajracharya yang juga mantan Kumari merasa bahwa hidup normal seperti remaja lainnya adalah hal yang sulit.
Bahkan setelah bertahun-tahun masa Kumarinya berakhir.
“Bahkan sampai sekarang aku sulit jalan kaki dengan gerakan yang benar karena saat masih kecil dulu aku selalu digendong atau ditandu. Dunia luar benar-benar hal yang asing untukku,”ucap Chanira.
Meski menjadi tradisi turun-temurun yang bukan hanya dipercaya, tetapi juga dijaga keberadaannya oleh setiap kelompok masyarakat Nepal, ternyata tradisi Kumari mendapat tentangan dari aktivis pemerhati perempuan dan anak-anak.
Para aktivis menyayangkan masa kanak-kanak yang tidak bisa dinikmati oleh anak-anak perempuan yang menjadi Kumari.
Pasalnya waktu mereka hanya dipakai untuk duduk dan memberkati, sementara mereka tidak bisa bermain dengan anak-anak seusianya, berkomunikasi dengan orang lain, dan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. (TribunTravel.com/ Ratna Widyawati)
Artikel ini telah tayang di Tribuntravel.com dengan judul Kisah Pilu di Balik Anak Perempuan yang Menjadi Kumari, Dewi yang Melindungi Nepal
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari