Penulis
Intisari-Online.com - Korea Utara menjadi satu dari sedikit negara yang hingga kini masih belum mengonfirmasi kasus positif Covid-19.
Sebelumnya, ada sebanyak 18 negara yang masuk dalam daftar 'nol kasus' Covid-19. Namun, per Jumat (10/4/2020) siang, 3 negara lain melaporkan adanya infeksi virus corona, dikutip dari data real time John Hopskin University melalui Kompas.com.
Sementara itu, ratusan negara lain 'babak belur' menghadapi pandemi yang telah memakan puluhan ribu nyawa tersebut.
Meski banyak yang meragukan bahwa negara pimpinan Kim Jong Un itu masih 'bebas' virus corona, nyatanya Korea Utara tak goyah.
Korea Utara tetap mengklaim bebas dari Covid-19 karena telah berhasil melakukan pencegahan penyebaran penyakit ini secara dramatis.
Klaim tersebut dibuktikan dengan laporan hasil tes yang ditunjukkan setiap minggu, bahwa semua orang yang menjalani tes hasilnya negatif.
Selain itu, menutup rapat semua perbatasan negaranya dan mengkarantina siapa saja yang masuk ke negara tersebut menjadi cara yang dilakukan Korea Utara dalam mencegah Covid-19 menyebar.
Apakah mungkin Korea Utara benar-benar berhasil mengamankan wilayahnya dari 'serangan' pandemi ini?
Andre Lankov, Direktur di NK News, sebuah media berbasis di Amerika yang menyediakan berita dan analisis tentang Korea Utara, menuliskan pendapatnya tentang hal tersebut.
Melansir NK News (9/4/2020), Lankov berujar bahwa seharusnya orang-orang tidak terkejut dengan 'keberhasilan' Korea Utara.
Ia mengingatkan bahwa Korea Utara adalah salah satu pemerintahan paling otoriter di dunia, yang mana birokrasi dan penegakan hukumnya bekerja dengan efisian luar biasa dan mengikuti perintah dari atas dengan cukup baik.
Sehingga menurut Lankov, ketika butuh dilakukannya tindakan karantina dan kontrol yang penting dilakukan selama pandemi apa pun, maka rezim seperti Korea Utara memiliki keunggulan dibanding negara demokratis.
Terlebih, Korea Utara juga memiliki sistem medis yang relatif efisien.
"Korea Utara, jika dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan rendah lainnya, memiliki sistem medis yang relatif efisien,"
"Rumah sakit-rumah sakit di negara ini tidak memiliki peralatan yang memadai, tetapi jumlahnya banyak dan memiliki staf dokter dan perawat yang mengesankan," tulisnya.
Lankov menganggap, kondisi sistem medis seperti itu dapat mendukung Korea Utara menghadapi Covid-19 karena bentuk gejala penyakit ini relatif ringan.
"Seperti yang kita ketahui, sebagian besar pasien COVID-19 mengembangkan bentuk penyakit yang relatif ringan. Warga Korea Utara semacam itu dapat mengandalkan bantuan medis dasar," tulisnya.
Selain itu, menurut Lankov, jika penyakit ini pertama kali menyerang beberapa daerah yang relatif terpencil, maka pemerintah Korea Utara kemungkinan akan mengambil tindakan karantina internal yang dramatis.
Juga benar-benar 'memotong' daerah yang terinfeksi dari bagian lain negara itu.
Menurutnya, rezim tersebut mampu menerapkan tingkat karantina domestik yang hampir tidak terpikirkan di hampir semua negara lain di dunia modern.
"Terus terang, saya tidak akan terkejut jika penjaga yang melindungi perimeter area yang terinfeksi diizinkan untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap kemungkinan melarikan diri," tulisny.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa pertanian Korea Utara, secara teknologi, sebagian besar berada pada tingkat pra-modern, dengan otot-otot manusia dan lembu tetap menjadi sumber energi utama, yang mana membutuhkan sedikit bahan bakar atau input lain, dengan pengecualian pupuk.
"Dengan kata lain, banyak negara di Korea Utara mungkin terputus dari dunia luar sepenuhnya dan terus berfungsi kurang lebih seolah-olah tidak ada yang terjadi, setidaknya selama beberapa bulan," tulisnya.
"Otonomi semacam itu telah menjadi tujuan strategis pemerintah Korea Utara sejak 1960-an, ketika mulai menekankan gagasan semangat kemandirian. Pengalaman kelaparan tahun 1990-an hanya memperkuat tren ini," tulis Lankov.
Baca Juga: Hoaks Angin dari Utara Membawa Wabah Penyakit, Begini Penjelasan Resmi BMKG
Lankov pun menyinggung bagaimana penduduk Korea Utara akan sulit mengekspresikan ketidakpuasan, bahkan jika negara tersebut berada di bawah tekanan yang serius.
"Kita telah melihat, sekitar 20 tahun yang lalu, bagaimana setengah juta orang Korea Utara meninggal dengan diam-diam di rumah-rumah mereka dan di jalan-jalan di kota mereka tanpa menantang pemerintah," tulisnya.
Menurut Lankov, Korea Utara telah berubah sejak saat itu. Di mana kelaparan mungkin saja akan menjadi ancaman bagi pemerintah. Namun tidak halnya dengan periode singkat kesulitan yang disebabkan oleh karantina.
Menurutnya, karantina jauh lebih tidak berbahaya secara politik bagi Korea Utara.
Seperti itu Lankov menggambarkan bagaimana kondisi ideal Korea Selatan yang memungkinkan negara tersebut mampu menghadapi pandemi Covid-19 sejauh ini.
Namun, ia juga mengungkapkan kemungkinan lainnya, bahwa nasib menyedihkan bisa saja menunggu mereka saat kasus Covid-19 berkembang menjadi lebih berat.
Menurutnya, kemungkinan besar, hanya segelintir rumah sakit Korea Utara yang memiliki ventilator, dan rumah sakit-rumah sakit ini benar-benar terlarang bagi sebagian besar populasi.
"Perawatan ini akan disediakan untuk elit teratas, sementara yang lain mungkin akan dibiarkan mati,"
Baca Juga: Hoaks Angin dari Utara Membawa Wabah Penyakit, Begini Penjelasan Resmi BMKG
"Saya mengerti bahwa pernyataan sebelumnya akan terdengar keterlaluan bagi banyak pembaca, yang cenderung mulai marah tentang kekejaman rezim.
"Namun, sebagai pernyataan serius, saya akan mengingatkan mereka bahwa nasib buruk yang sama kemungkinan akan menimpa sebagian besar pasien COVID-19 di negara-negara miskin lainnya," tulis Lankov.
Lankov berpendapat bahwa situasi Korea Utara tidak akan jauh berbeda dengan negara-negara miskin lainnya.
"Situasi Korea Utara, betapapun menyedihkannya, tidak akan jauh berbeda dari apa yang mungkin kita lihat di negara-negara miskin lainnya - dengan asumsi, tentu saja, banyak dari mereka tidak akan dilindungi oleh iklim hangat mereka," tulisnya.