Penulis
Intisari-online.com -Virus Corona baru yang telah sebabkan penyakit Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 1 juta jiwa di seluruh dunia.
Sampai saat ini pun masih dikembangkan berbagai vaksin untuk menjadi senjata melawan penyakit ini.
Salah satu metodenya adalah dengan mengambil darah pasien yang sembuh dari Covid-19.
Memang terdengar aneh tetapi hal tersebut merupakan salah satu metode pengobatan paling lawas.
Plasma darah yang telah dimurnikan dari pasien yang sembuh Covid-19 dianggap bisa menjadi salah satu sumber vaksin Covid-19.
Cara ini termasuk cara paling lawas dan pernah dilakukan saat terjadi pandemi flu Spanyol pada tahun 1918 silam.
Jurnal kesehatan yang dipublikasikan saat pandemi flu Spanyol menggambarkan transfusi darah dari mereka yang selamat telah mengurangi tingkat kematian hingga 50%.
Selanjutnya di tahun 1934 saat wabah campak muncul di sekolah asrama di Pennsylvania, serum dipanen dari pasien pertama.
Serum tersebut kemudian digunakan untuk sembuhkan 62 pasien yang lain.
Dari 62 pasien tersebut tinggal 3 saja yang masih memiliki sakit campak, dengan gejala ringan.
Baru-baru ini, terapi menggunakan plasma darah juga digunakan untuk menangani wabah Ebola dan flu burung.
Rabu kemarin perusahaan farmasi Jepang Takeda Pharmaceutical Co. mengatakan mereka mengembangkan obat virus Corona baru yang didapat dari plasma darah pasien Covid-19 yang telah sembuh.
Pendekatan mereka berdasarkan ide jika antibodi dikembangkan di tubuh pasien yang telah sembuh dari penyakit tersebut dan memperkuat sistem imun pasien baru.
Lalu bagaimana cara kerjanya?
Dijelaskan dari statnews.com, pasien yang sembuh dari suatu penyakit yang berasal dari virus akan memiliki antibodi permanen yang kemudian menjadi bagian dari sistem imun melekat di plasma darah mereka.
Plasma darah adalah cairan darah manusia.
Mengubahnya menjadi obat dilakukan dengan mengambil darah pasien yang sembuh, diuji untuk keamanan dan memurnikannya.
Tujuan pemurnian ini adalah untuk mengisolasi antibodi pelindung tersebut.
Saat disuntikkan ke pasien yang baru, terapi plasma atau convalescent plasma, menyediakan imunitas pasif sampai pasien yang telah disuntik dapat kembangkan antibodinya sendiri.
Mike Ryan, kepala program gawat darurat WHO mengatakan jika plasma convalescent adalah pengobatan potensial untuk pasien Covid-19.
Baca Juga: Inilah Fitur Gratis di Aplikasi Rapat Online Zoom Untuk Menjangkau Peserta Hingga Ribuan
Namun harus diberikan di waktu yang tepat dan tidak selamanya sukses.
Pendekatan ini telah dilakukan oleh para dokter di Shanghai pada Februari kemarin.
Namun belum ada jurnal yang resmi dirilis terkait hal tersebut.
Selanjutnya, yang dilakukan perusahaan farmasi Takeda adalah mereka sudah memiliki obat bernama intravenous immunoglobin (IVIG).
IVIG digunakan untuk mengobati pasien yang memiliki kelainan imun.
Obat tersebut terbuat dari berbagai jenis antibodi yang telah dimurnikan dari plasma darah orang-orang sehat.
Memberikan antibodi dalam bentuk yang telah dimurnikan lebih mudah, karena jumlah yang diperlukan untuk mengobati pasien yang sakit hanyalah sedikit.
Obat ini juga lebih aman, karena tidak ada peluang menularkan virus lain, serta lebih efisien.
Baca Juga: Manfaat Tanaman Obat Daun Dewa untuk Kesehatan, Termasuk Obati Batuk Hingga Cegah Kanker
Program IVIG mulai membuat obat baru, TAK-888 dari darah pasien yang sembuh dari virus Corona.
Karena sudah dilakukan dalam waktu yang lama, Takeda tidak memerlukan fase I untuk mendemonstrasi keamanan dasarnya atau fase III untuk menguji efisiensinya.
Dengan ini, pengobatan dapat tersedia lebih cepat.
Manfaat lain dari pendekatan ini adalah tidak diperlukan prosedur untuk tentukan antibodi terbaik dalam memerangi novel coronavirus.
Hal ini karena seluruh antibodi dari pasien yang telah sembuh diambil untuk melawan novel coronavirus.
Harapannya, serum dari plasma ini akan digunakan untuk pasien yang sakit parah.
Selain Takeda, ada lagi perusahaan farmasi yang sedang kembangkan serum pengobatan dengan cara yang sama.
Antara lain Regeneron dan Vir Biotechnology.
Pengobatan cara ini dianggap lebih cepat dibandingkan vaksin, karena pembuatan vaksin lebih sulit dari anggapan masyarakat.
Lebih-lebih, Sars-CoV-2 adalah virus baru yang masih dipelajari.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini