Penulis
Intisari-Online.com -Keinginan pemimpin Korut, Kim Jong Un untuk menghentikan program nuklir dan peluncuran uji coba rudal balistik disambut gembira baik rakyat Korut maupun Korsel.
Warga kedua negara yang ‘dipaksa’ untuk selalu bermusuhan sejak Perang Korea (1953) hanya berakhir dengan gencatan senjata itu memang selalu dalam kondisi tegang mengingat peperangan antara Korut dan Korsel kapan saja bisa meletus lagi.
Sejak Kim Jong Un berkuasa, kehidupan sehari-harirakyat Korsel bahkan juga rakyat Jepangdipenuhi teror karena sewaktu-waktu bisa mendapat serangan rudal nuklir dari Korut.
Tapi sejak Kim Jong Un menjanjikan penghentian program nuklir dan uji coba peluncuran rudal balistik seminggu terakhir, Kim Jong Un juga mendorong kemungkinan bersatunya Korea kembali (reunifikasi), rakyat Korut serta Korsel benar-benar merasa mendapat angin segar.
Hingga saat ini masih banyak warga Korut dan Korsel yang memiliki hubungan saudara terpisah dan sejak 1953 tidak bisa bertemu.
Pasalnya Korut memang melarang keras warganya yang memiliki saudara di Korsel untuk bertemu kecuali sedang diadakan acara reunifikasi yang dilakukan secara terbatas.
Oleh karena itu, keinginan Korut untuk menghentikan program nuklir dan membuka jalan bagi proses reunifikasi serta mengakhiri Perang Korea, jelas merupakan berita menggembirakan tidak hanya bagi Korut-Korsel tapi juga dunia internasional.
Selain rakyat Korut dan Korsel yang memiliki hubungan saudara bisa berkumpul lagi setelah sekitar 70 tahun terpisah, dunia internasional juga tidak dihantui lagi oleh ancaman serangan nuklir dari Korut.
Baca juga:Kirim 229 Cheerleader Cantik ke Korsel, Korut Ancam Jebloskan Penjara Jika Ada Yang Salah Bergoyang
Tapi meski Kim Jong Un sudah menjajikan ‘kabar gembira’ para pengamat politik Korut di Korsel malah mencurigai janji-janji manis Kim Jong Un sebagai tipuan dan ajang propaganda.
Pasalnya akibat uji coba ledakan bom nuklir Korut yang biasa dilaksanakan di kawasan Punggye-ri hingga enam kali, fasilitas uji coba ledakan nuklir itu telah mengalami kerusakan sehingga perlu dana lagi bagi Korut untuk membuat fasilitas uji nuklir yang baru.
Jadi menurut para pengamat Korut dari Korea Institute for Maritime Strategy (Korsel), pernyataan Kim Jong Un yang menjanjikan penghentian program nuklir bukan dilakukan secara tiba-tiba tapi karena diakibatkan belum adanya fasiltas uji nuklir yang baru.
Maka bisa dipastikan dalam pertemuan antara Kim Jong Un dan Presiden Korsel, Moon Jae-in yang akan digelar dalam waktu dekat, lalu disusul pertemuan Kim Jong Un dengan Presiden Donald Trump, untuk membicarakan penghentian program nuklir, Korut bisa dipastikan akan meminta kompensasi.
Korut yang meminta konpensasi berupa uang dan bantuan pangan dari AS dan Korsel dalam jumlah besar demi mau menghentikan program nuklirnya, lalu disetujui, pernah terjadi pada tahun 2012.
Tapi hanya beberapa bulan atas konpensasi dan kesepakatn itu, Korut telah melakukan uji peluncuran roket hingga ke orbit, yang kemudian menjadi cikal-bakal pembuatan rudal balistik.
Berdasar pengalaman itu, maka Presiden Moon Jae-in, oleh para pengamat politik Korut di Korsel telah diperingatkan untuk berhat-hati ketika berunding dengan Kim Jong Un agar tidak ‘tertipu’ oleh janji-janji manisnya.
Pemerintah Jepang sendiri , melalui PM Shinzo Abe, juga memberikan peringatan kepada Korsel agar tidak langsung percaya kepada janji-janji Kim Jong Un.
Pasalnya, Korut masih saja mengembangkan program produksi rudal balistik jarak menengah yang jika diluncurkan bisa mencapai daratan Jepang.
Jepang bahkan juga memperingatkan Presiden Trump agar tidak terlalu optimis dengan janji-janji manis Kim Jong Un karena bisa-bisa hanya merupakan jebakan belaka.
Tidak hanya politikus Jepang yang memberi masukan ke Gedung Putih agar berhati-hati dengan sikap manis Korut, karena para politikus dan pengamat Korut di AS juga ramai-ramai memberikan masukan kepada Presiden Trump.
Para pengamat Korut di AS menekankan jika Korut mau menghentikan program nuklir, Kim Jong Un (Korut) harus mau bergabung lagi dengan negara-negara yang sudah menandatangani penghentian program nuklir (Non Proliferation Treaty/NPT) bukan hanya dengan omongan saja.
Janji-janji manis penghentian program nuklir Kim Jong Un memang patut diragukan karena sejak tahun 2003, Korut telah keluar dari organisasi negara-negara pendukung NPT.
Presiden Trump sendiri yang pada tahun 2017 pernah melontarkan kekesalan bahwa ‘dialog dengan Korut tak ada gunanya dan satu-satunya solusi hanya perang’ rupanya tetap sangat waspada dan ketar-ketir terhadap Korut.
Presiden Trump yang masih kebingungan untuk mencari tempat bagi pertemuan bersejarahnya dengan Kim Jong Un bahkan sudah menjamin, bahwa tanpa bukti nyata, seperti kembali menjadi negara pendukung NPT, Korut tidak akan mendapatkan apa-apa.
Atau dengan kata lain, berdasarkan pengalaman sejarah perundingan damai antara Korut-AS seperti pada tahun 2012, Presiden Trump yang juga seorang pebisnis ulung rupanya sudah kapok untuk dipalak dan dikibuli Korut lagi.
"Jika Kim Jong Un sampai ngomong yang tidak menyenangkan. Saya akan tinggalkan dia dari pertemuan (walk away from summit)," komentar Presiden Trump seperti dikutip olen cnn.com (20/4/2018).