Find Us On Social Media :

Olahraga Gulat di Asian Games yang Digambarkan di Atas Perangko

By K. Tatik Wardayati, Senin, 23 April 2018 | 19:30 WIB

Intisari-Online.com – Pada tahun 1928 di Yogyakarta telah dikenal seorang pegulat dengan nama samaran: Motoco. Semula ia adalah seorang pegawai toko, tetapi kemudian menggabungkan diri dalam rombongan sirkus luar negeri.

Nama aslinja ialah: Amat. Kata-kata “Amat" dan “toko" ia bentuk menjadi nama sandi: “Matoko" yang kemudian diselaraskan dengan lingkungan pekerjaannja menjadi : Motoco.

Ia bergulat di Yogya hanja bila sirkusnya kebetulan main di Yogya dan itupun jika ada Panitia yang menyelenggarakannya.

Pertunjukan pertandingan gulat yang penjelenggaraannya lebih tertentu, kita ketahui di Bandung di sekitar tahun 1930. Hampir setiap minggu kita dapat menjaksikan pertandingan adu gulat.

Baca juga: Masih Muda dan Tidak Diunggulkan, Namun Lanny Kaligis Menjadi Ratu Gelanggang Tenis Asian Games

Pada waktu itu istilah “gulat” beIum kita kenal. Yang lazim kita sebut ialah: Worstelen, bahasa Belanda.

Pertandingan dilangsungkan di lapangan bioskop terbuka, dahulu dikenal dengan nama pistren oleh karena di waktu itu kita belum mempunyai atau gedung olahraga.

Pegulat-pegulat yang diadukan mula-mula berasal dari garnizoen Cimahi, yaitu serdadu. Tetapi lambat-laun orang-orang diluar garnisun banyak pula yang mendjadi “worstelaar".

Nama-nama yang tidak asing lagi bagi penduduk Bandung diwaktu itu ialah diantaranya: Tumbel, Kedok Hitam, Pedro, Nero, Zorro, Bajag, Miliu, Matador,  dan Zander. Nama-nama tersebut kebanyakan berasal dari nama-nama tokoh film, yang pada waktu Itu sedang menjadi buah bibir.

Baca juga: Ketika eSports Menjadi Cabang Olahraga di Asian Games, Akankah Pemain Mobile Legend Akan Menjadi Atlet?

Mereka melakukan olahraga gulat tidak semata-mata untuk sport, juga tidak sebagai profesionil tetapi untuk kedua-duanya, yaitu untuk mencari tambahan penghasilan sambil berolahraga.

Dari pegulat-pegulat tersebut tadi Zonderlah yang amat tenar namanya. la adalah seorang buruh bengkel kereta-api di Manggarai, Jatinegara. Namanya sehari-hari ialah : Enang. la memilih nama “Zonder" karena menurut penuturannya ia belajar gulat “zonder” guru yang berarti tanpa guru.

Di sekitar tahun 1951 ia masih kelihatan sebagai sopir opelet di Jatinegara.