Penulis
Intisari-Online.com – Dalam pengertian zaman sekarang, antara kata "kurungan"dengan "penjara" (kemudian diperhalus sebagai lembaga pemasyarakatan) bisa beda artinya.
Lain halnya pada zaman jahiliyah, saat belum lazim diberlakukan hukuman kurungan badan. Orang yang akan dihukum - biasanya dengan hukuman mati - dikerangkeng dalam sebuah kandang yang sekarang disebut penjara. Komplet dengan segala penyiksaannya.
Sistem peradilanlah yang menciptakan penjara. Awalnya hanya berupa ruang-ruang khusus bagi tahanan yang akan dihadapkan ke pengadilan Kerajaan Inggris pada abad ke-12.
Melihat segi positifnya bagi tahanan, Raja Henry II memerintahkan untuk membangun ruang-ruang seperti itu di seluruh Inggris.
Baca juga: Cerita-cerita Ngeri dari Taman Fatahillah (2): Tidak Bisa Bayar Utang? Masuk Penjara!
Namun, sejauh itu masih sekadar untuk mengurung pelaku tindak kriminal, dan belum ada upaya penyadaran narapidana akan kesalahannya.
Penjara sebagai lembaga pemasyarakatan baru mulai mewujud pada abad ke-16. Ruangan ini terutama untuk menghukum pelaku pada kasus-kasus kejahatan ringan di Inggris dan beberapa negara lain di Eropa.
Antara lain, di London's Bridewell dibangun pada 1553 dan Ghent House of Correction pada 1775. Institusi yang sama didirikan juga di tanah koloni di Amerika.
Jika sebelumnya semua narapidana bercampur baur, di penjara "modern" pada saat itu mulai dibuat pemisahan tahanan berdasar usia, jenis kelamin, atau kondisi-kondisi khusus lain.
Baca juga: Cerita-cerita Ngeri dari Taman Fatahillah (1): Penjara Bawah Tanah yang Menghabisi 500 Jiwa
Di dalamnya mulai diterapkan disiplin ketat dan napi diwajibkan bekerja keras. Menurut akta 1711 di Inggris, hukuman kurungan maksimum saat itu adalah tiga tahun.
Memasuki abad ke-18, konsep lembaga pemasyarakatan di Amerika dan Eropa banyak dipengaruhi pemikiran kaum rasionalis.
Para narapidana semakin dilibatkan dalam banyak aktivitas, yang sekaligus jadi ukuran perubahan sikap mereka.
Para napi mulai diberi keterampilan menganyam, pekerjaan menukang, atau membuat sepatu.
Penjara Eastern State Penitentiary, yang dibuka di Cherry Hill di Philadelphia pada 1829, termasuk salah satu pelopornya.
Baca juga: Beginilah Akhir Karier si 'Manusia Ular' yang Dihukum 22 Tahun Penjara Gara-gara Tuduhan Pedofilia
Pemikiran kaum rasionalis saat itu juga meyakini, dalam kesendirian dan kesunyian, para napi akan menyadari kesalahannya dan kemudian bertobat.
Alhasil di penjara-penjara tertentu, sehari-harinya para tahanan dipisahkan satu sama lain, baik saat bekerja maupun tidur.
Di dalam suasana sunyi itulah mereka diharapkan bisa merenung dan ujung-ujungnya bertobat. Meski aneh, konsep ini diterapkan juga di banyak negara di Eropa.
Pada 1840, Kapt. Alexander Maconochie di Kepulauan Norfolk, sebelah Timur Australia mulai memperkenalkan sistem penilaian.
Mirip anak sekolah, sehari-harinya para napi akan selalu mendapat nilai yang meliputi pekerjaan, sikap, dan kemauan untuk belajar.
Nilai ini akan tercantum dalam "rapor" dan berpengaruh terhadap hukuman. Kalau konduitenya bagus, hukuman bisa diperingan.
Pada masa yang sama, Sir Walter Crofton, kepala penjara di Irlandia juga memberlakukan tiga tahap sebelum napi dikembalikan ke masyarakat.
Mereka akan diisolasi dulu sebelum akhimya dibolehkan bersosialisasi dengan penghuni lain.
Enam bulan menjelang pembebasan, napi diberi kepercayaan dan dijaga oleh penjaga tak bersenjata. Mereka juga bisa keluar penjara dengan "pembebasan bersyarat".
Sistem inilah yang dipakai hingga sekarang. (Dari pdbagai sumber/Tj – Intisari Maret 2005)
Baca juga: Akhirnya! Pria Ini Jadi Miliarder Setelah 31 Tahun Dipenjara 'Secara Tidak Sah'