Perusahaan Piranti Lunak Asing Sulit Dapatkan SDM di Indonesia (3)

Ade S

Penulis

Orangtua tidak hanya pantas namun juga selayaknya turun tangan dalam memperkenalkan anak-anak dengan kebiasaan membaca.

Oleh: Inggriani Liem dari Bebras Indonesia dan Lily Wibisono

Bagian 3 dari 4 Artikel

Intisari-Online.com -Dengan kemajuan teknologi masa kini, kita sudah selayaknya memasang standar literasi membaca yang melampaui kemampuan mesin.

Kenyataannya, tingkat literasi anak Indonesia masih amat rendah.

Untuk literasi membaca, PISA (Programme for International Student Assessment) menentukan 6 tingkat literasi.

Yang tertinggi (Level 6) adalah kemampuan pembaca untuk membuat kesimpulan, perbandingan, dan pembedaan secara terinci dan jelas serta mampu memahami secara penuh dan terinci tentang suatu teks bacaan atau lebih dan mampu menggabungkan informasi yang berasal dari lebih dari satu teks.

Dari hasil tes PISA 2018, hanya 30% siswa Indonesia mencapai Tingkat 2 (rata-rata OECD adalah 77%).

Kemampuan yang dituntut dalam tingkat ini adalah siswa diminta untuk mengidentifikasi ide utama dalam teks dengan panjang sedang, mencari informasi berdasarkan kriteria yang jelas, walau kadang rumit, dapat merefleksikan tujuan dan bentuk teks setelah diberi arahan secara eksplisit.

Sedikit sekali siswa Indonesia yang bisa mencapai tingkat 5 atau 6 (sehingga persentasenya dapat diabaikan).

Rata-rata OECD : 9%. Malah ada siswa dari negara tertentu yang mencapai 10% untuk tingkat 5 dan 6. Keenam tingkat literasi menurut PISA dapat dilihat di sini.

Teks yang dapat menjadi bahan tes PISA banyak ragamnyatetapi selalu menyangkut keseharian.

Hal-hal biasa macam gambaran lokasi yang dikunjungi dalam cerita perjalanan, buku harian, katalog, peta, jadwal penerbangan, sampai deskripsi fitur/fungsi atau proses pada manual teknis.

Baca Juga: Berita Hoax dan Kemampuan Literasi Orang Indonesia: Orang Awam Gampang Termakan Hoaks karena Tingkat Literasinya Rendah

Percaya tidak, teks dalam tes PISA juga dapat berupa novel, cerita pendek, permainan, biografi, komik, berita koran, atau tulisan ilmiah!

Anda pasti juga akan terheran-heran bahwa teks itu bisa juga berupa: diagram sistem peredaran darah dan fungsi jantung, grafik tren populasi, peta konsep (mind map) entri pada ensiklopedi online, surat pembaca, iklan, poster, posting pada forum online, tinjauan buku atau film yang disajikan di halaman web, resep masakan, diagram yang mengilustrasikan cara kerja perangkat lunak, ... bahkan email dan teks yang mengonfirmasi suatu janji lewat aplikasi pesan (WA/Line/SMS/telegram) pun termasuk! Selain itu, anak juga diminta membaca buku fiksi dan non-fiksi.

Oleh karena ragam teks yang perlu dibaca sangat banyak, baik penyajian maupun jenisnya, ada baiknya anak dibiasakan membaca dengan cermat setidaknya setiap jenis teks yang disebutkan PISA.

Dapatkah Anda membayangkan, jika tugas memaparkan siswa terhadap begitu banyak jenis bacaan itu dibebankan kepada sekolah saja?

Orangtua tidak hanya pantas namun juga selayaknya turun tangan dalam memperkenalkan anak-anak dengan kebiasaan membaca; termasuk juga membiasakan anak-anak mereka pada bahan bacaan yang beragam.

Akan baik sekali bila membahas isi bacaan yang telah dibaca setiap anggota keluarga termasuk dalam acara kebersamaan rutin.

Jika dibandingkan dengan capaian Indonesia tahun 2009, capaian tahun 2018 ini menurun.

Melihat hasil yang cukup parah itu, kita mungkin berpikir, jangan-jangan ada kesenjangan yang amat besar di Indonesia, antara kalangan terdidik dan tak terdidik.

Akan tetapi coba kita teropong hasil studi lain pada tahun 2016 di sini.

Orang dewasa di Jakarta berusia 25 - 65 tahun dan lulusan perguruan tinggi, ternyata masih lebih rendah kemampuan bacanya dibandingkan dengan lulusan SMP di Denmark dan Yunani.

Di Jkt 69% kemampuan bacanya berada pada tingkat 1,32% di bawah tingkat 1 dan 37% ada di tingkat 1.

Padahal untuk rata-rata negara-negara OECD, hanya 4.5% populasinya memiliki kemampuan baca di bawah tingkat 1.

Baca Juga: Berita Hoax dan Kemampuan Literasi Orang Indonesia: Orang Awam Gampang Termakan Hoaks karena Tingkat Literasinya Rendah

Kesimpulannya, bahkan kalangan terdidik di Indonesia pun kemampuan literasi membacanya amat jauh tertinggal dari standar global.

Gagal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi

Oleh karena membaca adalah awal dari proses belajar untuk semua bidang yang lain, kenyataan di atas itu sungguh sangat memprihatinkan.

Maka dapat dimengerti bahwa banyak perusahaan piranti lunak asing kesulitan memperoleh SDM di Indonesia karena para calon itu bukan gagal dalam keterampilan teknis tetapi pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan yang dijadikan saringan utama dalam menjaring SDM.

Tentu saja, karena kemampuan berpikir tingkat rendah akan digantikan oleh robot.

Bukankah manusia diharapkan mampu berpikir lebih daripada robot?

Bagaimana kita akan maju, bila kita tidak segera memperbaiki daya saing SDM kita dalam hal berpikir ini?

Artikel Selanjutnya:Program Merdeka Belajar Kemendikbud Jaring Ribuan Organisasi dan Relawan (4)

Artikel Sebelumnya: Literasi Membaca Menghasilkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (2)

Artikel Terkait