Penulis
Intisari-Online.com - Masa depan NF (15), remaja pembunuh bayi 5 tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat, mulai diperbincangkan.
Salah satunya oleh Kriminolog, Maman Suherman, dan Psikolog, Melissa Grace, dalam tayangan yang diunggah di kanal YouTubeTalk Show tvOne, Sabtu (7/3/2020).
Kasus pembunuhan yang dilakukan NF memang begitu mengerikan, namun juga memprihatinkan, mengingat usia pelaku yang masih belia.
Dalam tayangan tersebut, Maman menyinggung bahwa sekalipun NF akhirnya dinyatakan bersalah, hukuman yang kemungkinan akan didapatkannya tak akan lebih dari 10 tahun.
Hal itu mengacu pada sistem peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia, di mana hukuman maksimal untuk pelaku anak hanya setengah dari hukuman orang dewasa.
Jika orang dewasa bisa mendapatkan hukuman mati atas pembunuhan berencana, maka anak hanya bisa dikenakan hukuman maksimal 10 tahun.
Artinya, NF bisa saja selesai menjalani hukuman saat usianya masih terbilang muda, sekitar 20 tahunan.
Kasus serupa pernah terjadi pada seorang pembunuh anak yang cukup fenomenal, Mary Bell.
Mary Bell terkenal sebagai pembunuh berantai termuda di Inggris.
Pada Desember 1968, di usia 11 tahun, Mary Bell dan seorang temannya mencekik dan memutilasi dua anak lelaki.
Masing-masing Martin Brown, 4 tahun, dan Brian Howe, 3 tahun.
Persidangannya, adalah salah satu hal yang paling sensasional di abad kedua puluh.
Kemudian Mary Bell dijatuhi hukuman dan dipenjara di unit anak-anak di Red Bank Community Home.
Ia dibebaskan pada tahun 1980, di usia 23 tahun, setelah menjalani 12 tahun hukumannya.
Selain dibebaskan, Mary Bell pun diberi nama dan identitas baru, kemudian menikah dan memiliki anak.
Bell dan pasangannya menciptakan kehidupan baru, menetap di masyarakat dan membesarkan putri mereka yang lahir di tahun 1984.
Namun, Bell sempat mengalami kesulitan untuk terlepas dari 'kejaran' media.
Keberadaannya pun selalu berusaha ditemukan.
Hingga pada tahun 2003, Mary Bell dan putrinya memenangkan putusan pengadilan tinggi untuk menjamin anonimitas seumur hidup.
Melansir The Guardian (22/5/2003), Dame Elisabeth Butler-Slos, presiden divisi keluarga, membuat perintah yang melarang pengungkapan identitas serta keberadaan Bell dan putrinya.
Hal itu dilakukan untuk melindungi hak mereka atas kehidupan pribadi dan keluarga berdasarkan pasal 8 konvensi Eropa tentang hak asasi manusia.
Kondisi mental Bell yang rapuh dan faktor-faktor luar biasa lainnya, seperti usianya pada saat pembunuhan, menjadi alasan penguat.
Dame Elisabeth mengatakan bahwa Bell telah mampu menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
Saat putusan anonimitas tersebut ditetapkan, Bell telah tinggal di masyarakat selama 23 tahun dan bersama pasangannya telah membesarkan putrinya selama 15 tahun, yang mana sang putri berkembang menjadi 'gadis yang menarik dan seimbang'.
Dame Elisabeth pun menerima bukti bahwa ibu dan anak perempuannya itu berada dalam 'risiko besar instrusi pers dan pelecehan, stigma publik dan pengasingan' jika identitas mereka diungkapkan.
Berkali-kali putri Bell mendapatkan sorotan akibat masa lalu sang ibu.
Seperti saat kelahirannya, juga ketika putri Bell berusia 4 tahun.
Orangtua di sekolah putri Bell sempat membuat petisi agar anak itu dikeluarkan dari sekolah usai identitas ibunya terbongkar.
Publisitas lainnya yang didapatkan mantan narapidana pembunuh anak ini juga terjadi pada tahun 1993, setelah pembunuhan james Bulger, dan pada tahun 1998, ketika Bell bekerja sama dalam sebuah buku tentang hidupnya.
Menteri Dalam Negeri, David Blunkett pun mendukung anonimitas untuk Bell dan putrinya.
"Saya mendukung Mary Bell dalam aplikasi, terutama atas nama putrinya. Sepertinya bagi saya bahwa apa pun kejahatan masa lalu ibunya, putrinya tidak boleh menderita," kata Blunkett dikutip dari The Guardian.
Sementara itu, melansir Daily Mail, seorang penulis, Gitta Sereny, berargumen melalui karya bukunya bahwa masyarakatlah yang harus disalahkan atas kejahatan Mary Bell.
Hal itu menjadi jawabannya kepada orang-orang yang menginginkan penjelasan mengapa seorang gadis muda bisa berperilaku sedemikian bejatnya, melakukan pembunuhan tanpa menunjukkan penyesalan atau kecemasan.
Menurut Sereny, si pembunuh hanyalah korban dari masa kecilnya.
Diketahui bahwa ibu Bell yang merupakan seorang pekerja seks mengakui bahwa putrinya menyaksikan gaya hidup kotor.
Hal itu termasuk ia menyaksikan bagaimana orang sekitarnya menjadi pengguna narkoba.
Sereny percaya bahwa pengalaman mengerikan itu telah berkontribusi pada perilaku patologis Mary.
Setelah mendapatkan jaminan anonimitas, bukan berarti kabar tentangnya sama sekali lenyap.
Pada tahun 2009, tersiar kabar bahwa Bell telah menjadi seorang nenek di usianya yang menginjak 51 tahun.
Meski begitu, identitas putrinya harus tetap aman sampai kematiannya.