Misteri Mengapa Saat Ada Wabah Penyakit Corona dan Kerusuhan Masyarakat Selalu Panik dan Menjarah Toko Akhirnya Terpecahkan, Ini Penjelasan Psikolog

May N

Penulis

Merebaknya penyakit dan kepanikan warga adalah dua hal yang semakin sulit dipisahkan hingga saat ini, ini penjelasannya

Intisari-online.com -Wabah corona merebak sejak Desember 2019 silam.

Sejak itu, kepanikan dan histeria penduduk seperti menjadi sorotan utama media.

Banyak diberitakan kepanikan menjalar sampai para warga menjarah supermarket, toko obat dan mengambil barang-barang secara serampangan.

Dilaporkan dari South China Morning Post, beberapa minggu terakhir ini Hong Kong diberitakan para warganya panik dan penuhi toko serta swalayan.

Baca Juga: Setelah Sebulan Mayatnya Ditemukan di Gorong-gorong Sekolahnya, Baru Terungkap Fakta-fakta Pembunuhan Siswi SMP di Tasikmalaya Ini, Dibunuh Ayahnya Sendiri Hanya karena Minta Hal Ini

Mereka menjarah untuk mendapatkan stok bahan makanan dan keperluan lainnya saat wabah Corona belum terlihat berakhir.

Mulai dari masker penutup wajah, yang wajar mengingat virus Corona menyebar lewat saluran pernapasan.

Namun penjarahan tersebut berlanjut ke menjarah bahan makanan seperti beras bahkan tisu toilet.

Tidak semua warga menjarah, ada juga antrian panjang pengunjung swalayan yang mengantri membayar barang-barang yang mereka beli.

Baca Juga: Tak Laku-laku Meski Dijual Sangat Murah. Ternyata Rumah Mewah Ini Simpan Rahasia yang Bikin Pembeli Langsung Kehilangan Minat

Namun tidak heran, ada juga pencurian yang sampai gunakan senjata tajam.

Apa penyebab hal seperti ini terjadi?

Seorang psikolog di klinik Hong Kong, Dr Cindy Chan menjelaskan jika 'latah' ini adalah tindakan yang terkait dengan psikologi manusia.

Ini semua berkaitan dengan cara manusia mencoba mengontrol hal di sekitar mereka.

Baca Juga: Tembus 50 Negara dengan 83.265 Kasus dan 2.858 Orang Meninggal, Bagaimana Sebenarnya Virus Corona Menyebar?

Banyak sekali faktor tidak pasti terkait merebaknya Covid-19: peningkatan jumlah kematian, keharusan bekerja dari rumah, dan sekolah diliburkan.

Faktor-faktor tersebut menyebabkan manusia takut mereka tidak memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri.

"Manusia merasa perlu memiliki kontrol, jadi mereka keluar dan membeli banyak barang: nasi, tisu toilet, dan merasa mereka sudah melakukan hal terbaik untuk diri mereka, yaitu mengontrol kebutuhan. Itu adalah sebuah fenomena pemikiran kelompok, mentalitas kawanan," jelasnya.

Dari pandangan ilmu saraf, saat manusia menghadapi ancaman, untuk kali ini, Covid-19, bagian otak bernama amygdala yang memproses rasa takut dan emosi, bekerja secara berlebihan.

Baca Juga: Seorang Pria Terkejut Bukan Main Saat Menemukan Bagian Tubuh Manusia Ini di Dalam Seporsi Kari Babi yang Dipesannya di Restoran, Justru Teka-teki Dari Mana Benda Itu Berasal Tak Terpecahkan

Aktivasi berlebihan amygdala dengan sementara mematikan pemikiran rasional kita.

"Kita tidak bisa berpikir logis, dan mudah dipengaruhi oleh pemikiran kelompok, tindakan kita juga semakin irasional," ujar Chan.

Sementara itu Dr Sara Houshmand, psikolog konselor di Pusat Kesehatan Hong Kong, mengatakan jika dalam kondisi ekstrim, perilaku perlindungan diri ini seringnya menyugesti tindakan antisipasi berlebihan.

Pembelian latah dan panik juga memperkuat penilaian tidak akurat, meskipun hal tersebut memberi sensasi lega dan pengambil alihan kontrol, bertindak atas perilaku gelisah seringnya perkuat keyakinan jika saat itu kita sedang dalam bahaya.

Baca Juga: Nikahi Kakek 73 Tahun, Wanita Ini Merasa Sangat Menyesal Setelah Beberapa Bulan Menikah dan Memilih Bercerai karena Merasa Janggal

Houshmand menyebut, "sebagian besar yang terlibat dalam perilaku ini sepakat jika tisu toilet tidak memiliki imunitas terkait virus corona. Sehingga seiring berjalannya waktu, perilaku perlindungan diri ini justru membuat orang semakin stress dan gelisah yang akan mengganggu psikologi masing-masing orang."

Professor Psikologi di Universitas Hong Kong, Dr Christian Chan, menyebut jika tingginya level kegelisahan di gelombang kepanikan dan latahnya para warga tunjukkan kurangnya kepercayaan dengan pemerintah.

"Pertanyaannya adalah dari mana sumber info itu, siapa yang kamu percaya, dan hal itu yang sering kita lihat dengan orang-orang panik akan hoax.

"Dalam sejarah, kepercayaan rakyat dengan pemerintah sudah tercatat rendah, orang-orang percaya pada mereka yang memberi mereka masker wajah baik itu seorang radikal maupun hanya seorang reporter. Pemerintah perlu meraih kembali kepercayaan orang-orang sehingga saat mereka bilang tidak ada lagi stok tisu toilet dan beras, orang dapat percaya."

Baca Juga: Masih Ingat Kasus Penemuan Balita Tanpa Kepala dan Beberapa Organ Tubuhnya Hilang? Ini Hasil Otopsi dari Polisi

Bahkan, ujaran dan nasihat "jangan panik" lebih buruk dari semua nasihat, menurut John Drury, Professor Psikologi Sosial di Universitas Sussex, Inggris.

Anjuran itu berdasarkan ketidakpercayaan pemerintah dengan "massa" yang berpotensi menjadi irasional.

Massa kemudian tidak percaya dengan pemerintah dan beranggapan jika pemerintah menyembunyikan sesuatu dari publik.

Drury menyebut salah satu caranya adalah membuat warga berpikir peran mereka dalam komunitas mereka.

Baca Juga: Guru Wanita Ini Hanya Bisa Pasrah Dihukum Merangkak Oleh Wali Murid, Ternyata Orang Tua Murid Geram Setelah Guru Ini Membuat Anaknya Seperti Ini

"Saat orang-orang berpikir tentang peran mereka di kehidupan sosial, mereka akan kooperatif, tidak latah dan panik dan mau berbagi suplai dengan orang asing yang juga membutuhkan."

Artikel Terkait