Penulis
Intisari-online.com -Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang banyak diderita masyarakat Indonesia.
Data terbaru dari International Agency for Research on Cancer (IARC), Global Cancer Observatory 2018 menyatakan penderita kanker paru di Indonesia sebanyak 30.023 jiwa dengan angka kematian mencapai 26.095 jiwa.
Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati urutan pertama negara dengan penderita terbanyak kanker paru di Asia Tenggara.
Salah satu faktor banyaknya penderita yang tutup usia karena penyakit ini adalah rendahnya harapan hidup pasien.
Pasalnya, kanker paru kerap terdeteksi pada stadium lanjut, karena tidak adanya gejala khas yang timbul pada awal berkembanganya penyakit.
Karena hal ini, para pasien baru mengunjungi dokter saat sudah ada gejala stadium lanjut seperti batuk darah.
Namun, seiring berjalannya waktu saat ini terdapat salah satu pengobatan kanker paru yang disinyalir mampu memperbesar harapan hidup pasiennya, yakni imuno onkologi.
Kebanyakan orang awam mungkin akan bertanya-tanya bila mendengar istilah imuno onkologi.
Imuno onkologi atau biasa disingkat IO ini sering kali juga disebut imunoterapi.
Istilah imuno onkologi memang baru akhir-akhir ini disebut sebagai pengobatan yang lebih inovatif daripada kemoterapi.
Namun, sebelum berbicara tentang bagaimana cara pengobatan ini dilakukan, ada baiknya untuk menyelisik sejarah awal terciptanya pengobatan imuno onkologi.
Memacu Sistem Kekebalan Tubuh
Semua berawal pada akhir abad ke-19 saat seorang peneliti asal Amerika Serikat, William B. Coley menemukan sebuah metode untuk mengalahkan sel kanker.
Pada 1891, pria yang juga dikenal sebagai Bapak Imuno Onkologi ini mengamati bahwa infeksi dalam tubuh pasien kanker terkadang berhubungan dengan kesembuhan penyakit.
Dengan demikian, ia berpendapat bahwa membuat tubuh pasien mengalami infeksi secara sengaja mungkin bisa membantunya mengobati kanker.
Untuk menguji pemikiran itu, Coley menyuntikkan bakteri Streptococcus pyogenes dan Serratia marcescens ke dalam tubuh pasien.
Ia memanfaatkan campuran itu untuk menyebabkan infeksi pada pasien kanker, melansir Targetedonc.com, Kamis (21/8/2014).
Bakteri ini kemudian memacu sistem kekebalan pasien untuk menyerang infeksi dan segala jenis benda asing apapun di dalam tubuh, termasuk tumor.
Melansir Kompas.com, Jumat (16/6/2017), saat ini imuno onkologi merupakan pengobatan kanker yang bertujuan mencegah interaksi antara sel T milik sistem imun dan tumor.
Saat tumor dan sel T berinteraksi, sebuah protein di tumor yang disebut Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1) melumpuhkan sel T sehingga sel-sel imun segera mendeteksi dan membunuh sel-sel kanker.
Efek Samping Rendah
Beberapa tahun belakangan, pengobatan kanker dengan metode imuno onkologi kembali mengemuka di Indonesia dan disinyalir mampu membantu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru stadium akhir dengan memulihkan fungsi sistem kekebalan tubuh.
Sudah ada banyak riset penelitian imuno onkologi yang dilakukan termasuk riset yang diterbitkan oleh University of Wollongong, Australia.
Menurut riset yang diterbitkan University of Wollongong, Australia pada 2019 tersebut, rata-rata tingkat harapan hidup (Median Overall Survival Rate) terapi imuno onkologi dapat mencapai hingga 30 bulan.
Angka tersebut lebih tinggi sekitar 88 persen dibandingkan dengan rata-rata tingkat harapan hidup dari kemoterapi yang hanya mencapai 14,2 bulan.
Sebuah pencapaian yang sangat baik dalam dalam hal penanganan kanker.
Selain itu, pasien yang menjalani terapi imuno onkologi tidak akan mengalami efek samping seperti kerontokan rambut.
Di Indonesia, metode pengobatan imuno onkologi untuk kanker paru masih diperuntukkan bagi penderita kanker stadium empat atau setelah pengobatan lini pertama, seperti pembedahan dan kemoterapi yang belum berhasil mengalahkan sel kanker penderita.
Kepala Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Johan Kurnianda, SpPD, KHOM, FINASIM, menjelaskan pada prinsipnya imuno onkologi adalah suatu konsep pengobatan yang mengandalkan kemampuan dari sistem kekebalan tubuh atau sistem imun dalam melawan benda asing.
Saat ini, pengobatan imuno onkologi yang telah banyak dipakai adalah check point inhibitor.
Jenis kanker yang terbukti bisa dilakukan terapi imuno onkologi adalah kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) atau non-small cell lung cancer (NSCLC).
Dr. Johan melanjutkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli onkologi, tingkat kematian yang dialami oleh penderita kanker paru cukup besar, yakni mencapai 90 persen.
“Ini artinya, 9 dari 10 penderita kanker paru akan meninggal karena penyakitnya, tapi ini sebelum adanya imuno onkologi,” jelasnya.
Setelah dilakukan imuno onkologi, mortality rate atau tingkat kematian pasien berkurang secara signifikan.
Sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan terkait imuno onkologi ini.
Salah satu penelitian terbaru diterbitkan di North England Journal of Medicine pada 2016.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa penderita kanker paru stadium 4 dengan kadar tersebut apabila diberikan penanganan imuno onkologi harapan hidupnya meningkat.
“Dari yang tadinya dalam 5 tahun kurang dari 5 persen harapan untuk hidup, kini berlipat ganda sebesar 5 kali menjadi 25 persen,” jelas dokter yang bertugas di RS Sardjito Yogyakarta ini.
Selain lebih baik dalam hal rata-rata tingkat harapan hidup (median overall survival rate), pengobatan imuno onkologi juga lebih baik dalam hal efek samping.
Dr. Johan mengatakan bahwa pengobatan imuno onkologi profil efek sampingnya jauh lebih bisa diterima daripada efek samping pengobatan kemoterapi yaitu hanya menimbulkan pusing dan mual.
Untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai pengobatan imuno onkologi, Anda juga bisa berkunjung ke laman www.lawankankerdaridalam.com.
(Alek Kurniawan)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Sejarah Imuno Onkologi, Salah Satu Pengobatan Kanker Paru..." dan "Imuno Onkologi Dipraktikkan di Indonesia, Ini Pendapat Dokter Spesialis"