Penulis
Intisari-Online.com - Fenomena gangster di Indonesia sudah marak sejak lama.
Gangster-gangster yang ada hampir seluruhnya dicap sebagai sumber keresahan masyarakat.
Tak jarang gangster-gangster yang ada nekat melakukan tindakan kriminal demi keeksisannya.
Belakangan ini fenomena gangster kembali marak dan meresahkan masyarakat Surabaya.
Menyikapi hal ini Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini meminta Bonek Mania untuk bisa meredam emosi dalam menanggapi maraknya gangster di Surabaya belakangan ini.
Risma menyebut, ada banyak petugas yang akan siaga untuk memastikan keamanan di Surabaya.
"Sudahlah percaya dengan petugas (yang) juga lakukan patroli," kata Risma.
Sebagaimana diketahui, fenomena gangster di Surabaya juga memantik tanggapan dari Bonek Mania, suporter Persebaya.
Namun, Risma menegaskan tak ingin terjadi apa-apa dengan warganya.
"Kalau ada apa-apa malah yang rugi itu keluarga kita," ujar Risma.
Sehingga, ia lebih menekankan keamanan Surabaya dengan getolnya patroli gabungan dari Pemkot Surabaya dan pihak kepolisian.
Selain itu, Risma menyebut pihaknya telah memiliki kamera cctv berkekuatan face recognition yang terhubung dengan data kependudukan.
Meski nantinya pelaku masih di bawah umur, Risma mengaku juga sudah mengantongi data anak seluruh Surabaya.
"Baik (data) wajah, sidik jari, punya aku," ungkap Risma.
Bonek dan Masa-masa Kehidupan Keras yang Dilaluinya Sebagai Ultras Sepakbola Indonesia Paling Ikonik
Bonek menjadi salah satu suporter paling fanatik di Indonesia, yang berasal dari Surabaya.
Namanya menggema di seluruh penjuru Indonesia, bahkan orang awam yang tak tahu sepakbola pun dipastikan pernah mendengar nama 'Bonek'.
'Bonek' begitu nama sapaan ini adalah istilah yang mengacu pada massa pendukung Persebaya, klub yang didirikan pada tahun 1927 di Surabaya.
Rupanya nama Bonek bukan hanya sampai di telinga orang Indonesia, gaung namanya menggema dan disorot secara internasional ketika sebuah laporan jurnalis mengungkapkan kehidupan keras, dan saat-saat berbahaya yang dilalui Bonek.
Melansir Shootfarken kisahnya terjadi pada 2017 silam, kala itu peluncuran kembali Liga Sepak Bola Indonesia, Go-jek Traveloka, melihat kembalinya Persebaya setelah beberapa tahun tidak bermain.
Ini adalah perjuangan pendukung yang mengampanyekannya di jalan-jalan kota pelabuhan Surabaya, dan tentu juga melalui kampanye media sosial, di mana para penggemar memperkuat serangan mereka untuk melawan PSSI.
Pengembalian Persebaya membawa kembali sejarah dan budaya sepakbola yang telah lama hilang dari Divisi II, Persebaya dianggap sebagai klub paling ikonik di negara ini, meskipun sejarahnya baru-baru ini bermasalah.
Warkop Pitulikur adalah kafe terbuka yang sederhana di sisi jalan yang sibuk dan berdebu di pusat kota Surabaya, buka 24 jam sehari, dan merupakan titik pertemuan untuk puluhan ribu penggemar Persebaya di Surabaya, menurut laporan jurnalis Andy Fuller.
Dalam perjalananya ke Surabaya, Andy mengungkapkan banyak hal tentang Bonek, sejarah dan fanatisme sebagai salah satu suporter di Indonesia.
Ketika, Football fandom diperebutkan, persaingan ketat tidak hanya ada di antara pendukung tim yang berbeda, tetapi di antara pendukung tim yang sama, bahkan dengan pemilik klub sekalipun.
Para suporter atau ultras klub sering dalam kondisi memanas dan bersitegang dengan pemilik klub mereka.
Situs web seperti Green Nord 27 dan Emosi Jiwaku yang diluncurkan, dan akun twitter yang tak terhitung jumlahnya, merupakan kesaksian para penggemar dalam mempromosikan dan menjelajahi lintasan klub.
Ketegangan antara penggemar berkisar pada kesetiaan kepada Klub, dan metode bagaimana kesetiaan itu diekspresikan.
Menjadi penggemar klub sepak bola yang sama halnya memberikan ekspresi persatuan di antara penggemar dengan latar belakang sosial yang berbeda, komunitas yang rapuh dan rentan isu-isu bersifat provokatif.
Persatuan penggemar Persebaya, yang mungkin merupakan yang terbesar di antara klub-klub Indonesia, luar biasa dan tidak hanya tingkat investasi emosional mereka, tetapi juga untuk persatuan mereka.
Sepanjang masa pengasingan tim mereka, Bonek berjuang keras melawan birokrasi sepakbola nasional (PSSI) dan global (FIFA), kampanye ini dipimpin oleh Andie Peci yang merupakan salah satu dedengkot Bonek.
"Sangat sedikit penggemar yang membawa bekas luka sebagai bukti dedikasi dan dukungan mereka bukan hanya untuk klub mereka, tetapi juga untuk sesama pendukung mereka," ungkap Andie Peci dalam tulisan Andy Fuller.
Andie Peci, adalah aktivis, juru bicara dan perwakilan Bonek yang legendaris dari Surabaya, membawa bekas luka besar di siku kirinya, di mana ia diserang dengan pisau karena berdiri di hadapan mafia dan milisi sepakbola yang terlibat dalam sepak bola Indonesia.
"Andie memiliki tubuh kecil, namun tatapan baja, dia tidak mudah menderita saat melihat lintasan Klub dalam jangka panjang," ungkap Andy Fuller
"Menang dan kehilangan adalah hal-hal penting baginya dan itu tidak diragukan lagi, tetapi itu adalah kelangsungan hidup klub, namun etika kelompok pendukungnya, Bonek, yang jauh lebih penting," tambahnya.
"Peci menolak pengakuan formal, gelar atau kepemimpinan, ia menegaskan etos egaliter dari kota dan Bonek itu sendiri. Namun, Peci, adalah Bonek yang paling mudah diidentifikasi dengan perlawanan terhadap PSSI dan korupsi liga nasional," tulis Andy Fuller.
Istilah 'Bonek' berasal dari 'bondo nekat' yang artinya 'bermodal nekat', yang secara kasar bisa diterjemahkan 'tidak memiliki apa-apa selain nyali'.
Bonek, di masa lalu, diketahui telah melakukan perjalanan jauh untuk memberikan dukungan tim, bahkan dilakukan tanpa uang untuk makan, akomodasi atau membawa tiket.
Jadi, mereka akan menumpang, dan masuk ke stadion dengan memanjat pagar.
Andy Fuller Juga menggatakan, "Banyak Bonek yang miskin dan menganggur, namun memberikan segala dukungannya untuk klub, mereka akan melakukan apa pun untuk menonton tim mereka bermain."
"Dan, mereka adalah kelompok pendukung pertama di Indonesia yang melakukan perjalanan jarak jauh untuk menonton tim mereka," tutupnya. (Afif Khoirul M)
Sebagian artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul "Tanggapi Fenomena Gangster di Surabaya, Risma Minta Bonek Menahan Diri