Find Us On Social Media :

Demi Antar Anaknya yang ‘Down Syndrome’, Kedua Lansia Ini Rela Bersepeda Belasan Kilometer

By Ade Sulaeman, Rabu, 28 Maret 2018 | 13:30 WIB

Wahyu yang belum bisa mengendalikan diri membuat Hernowo dan Kamilah terpaksa harus selalu mengantarkannya ke sekolah. Hernowo merelakan diri kehilangan Rp 20.000 per hari dari hasil mencuci piring di warung makan demi mengantar Wahyu sekolah.

Penghasilan minim membuat mereka tidak punya uang untuk membeli sepeda motor. Ongkos naik angkutan umum pulang dan pergi juga dirasa berat. Mereka terpaksa naik sepeda ontel yang biasa dipakai mencari rumput untuk kambing peliharaan di rumah. Sepeda itu yang penting cukup kokoh untuk dibonceng dua orang.

Sepeda ontel ini berjasa sepanjang 5 tahun belakangan. Kaki kecil Hernowo mengayuhnya setiap hari belasan kilometer dari Anjir hingga Panjatan. Tekad keduanya seperti baja. Kuat. Sekalipun tidak bisa mengelak kalau telat karena jarak yang jauh dan cuaca, atau karena mereka sakit. Tapi bisa dikata Wahyu adalah siswa yang paling rajin sekolah.

“Wahyu ini anak yang aktif, hampir tidak pernah tidak masuk sekolah. Rajin sekolah,” kata Erlia Fatmasari Hadi, wali kelas 5C. Kelas 5C berisi 6 siswa DS.

Meski harus melewati waktu sangat lama, Wahyu mulai menampakkan perubahan. Ia menunjukkan kemampuan sosialisasi lumayan baik, berteman dengan semua orang, bermain dengan sebayanya, pandai bersepeda, tapi dalam komunikasi ia masih banyak diam.

Erlia mengatakan, di umur 13 tahun ini ia mulai bisa menebalkan gambar, menghubungkan titik dengan titik, mencontoh huruf, hingga mewarnai dengan pastel. Yang terbaru, kata Erlia, Wahyu mulai bisa makan bekal sendiri pakai sendok.

Erlia mengenang dulunya Wahyu suka jalan keliling kelas dan susah menuruti perintah. Lima tahun belakangan, tingkah hiperaktifnya berkurang. “Baru tahun ini sama saya, sekarang dia sudah mau duduk,” kata Erlia.

Salah satu kemajuan yang dirasa Kamilah adalah Wahyu mulai betah di rumah. “Dulu suka hilang-hilang. Bahkan ketika subuh bangun tidur, bocah iki (ini) sudah hilang menerobos gedhek. Delok-delok ilang delok-delok ilang (sebentar-sebentar hilang). Kulo panik padosi teng kedung malah ketemu ning gunung (saya panggil-panggil di kolam sungai malah ketemu di gunung),” katanya.

Perjalanan bagi Wahyu sejatinya masih panjang. Masih banyak yang harus diajarkan karena banyak kemampuan yang belum bisa dilakukan di usainya yang menjelang remaja.

“Pakai baju sendiri belum bisa. Memasang kancing masih belum bisa. Menali sepatu juga belum bisa,” katanya.

Kamilah mengaku, menyekolahkan Wahyu merupakan keputusan tepat. Dengan usia mereka yang sudah menjelang senja, tentu sulit bagi Wahyu kalau masih terus bergantung pada keduanya yang hidup tidak sejahtera.

Anak ini, bagi Kamilah, adalah karunia terbesar di hidup mereka, mengingat dua kali keguguran sebelum Wahyu lahir. Kondisi terbelakang mental tentu akan menyulitkan hidupnya di masa depan.