Find Us On Social Media :

Demi Antar Anaknya yang ‘Down Syndrome’, Kedua Lansia Ini Rela Bersepeda Belasan Kilometer

By Ade Sulaeman, Rabu, 28 Maret 2018 | 13:30 WIB

Rumah tinggal Hernowo berada di balik hutan mungil yang berasa mistis dan tanpa jalan masuk memadai ke dalamnya. Tempat tinggal mereka di antara tebing tempat banyak pohon bambu tumbuh di sekelilingnya. Yakni jati, nangka, dan akasia. Gemericik air sungai terdengar sampai rumah.

Bila berangkat sekolah, ketiganya harus melewati hutan mini ini. Jalan berbatu dan tanah gembur membuat mereka tidak mungkin menaiki sepeda di dalam hutan mini ini. Mereka menuntun sepeda hingga jalan raya paling atas.

Dari situ, mereka mulai menaiki sepeda dan melaju sampai ketemu jalan datar. Tapi sesekali, ketika tanjakan, Hernowo dan Kamilah terpaksa mendorong sepeda. Ketika jalan menurun landai ataupun datar, mereka menaikinya.

Baru tahu DS

Wahyu lahir 8 tahun setelah pernikahan Hernowo dan Kamilah. Keduanya sudah berumur 40 tahun ketika itu. Mereka tak menyangka Wahyu tumbuh dengan keterbelakangan mental (down syndrome). Anak semata wayang ini tumbuh dengan suka sekali berlari tanpa henti sepanjang hari, tidak bisa menerima perintah dan peringatan.

Ia sulit bicara. Hernowo dan Kamilah kerap menemukan Wahyu memiring kepala ke samping, tatapan mata selalu kosong ke atas, mimik mukanya datar, dan tak bisa menyampaikan keinginan lewat kata-kata. Mereka belum curiga apapun sampai waktunya sekolah TK.

“Bocah iki melet-melet mangan ilat (menjulur-julurkan lidah dan makan lidah),” kata Kamilah.

Semakin usia bertambah, Wahyu makin sulit dikontrol. Emosinya tidak terkendali. Perjalanan hidup Wahyu bikin berantakan. Semua barang sering dihambur begitu rupa. Kamilah jadi kerap tak sabar.

Memasuki usia 5 tahun, Hernowo dan Kamilah memasukkannya ke PAUD dengan harapan ada kemajuan bagi Wahyu.

“Baru tahu (DS) waktu dimasukkan ke TK. Bu (Guru) Sumiati bilang Wahyu harus masuk ke SLB ini,” kata Kamilah.

Hancur hati Hernowo dan Kamilah saat itu. Tetapi, mereka cepat pulih dari kecewa. Mereka memutuskan untuk menyekolahkan Wahyu. Ia mengakui, Sumiati, guru PAUD itu, yang menguatkan hati mereka, mendorong dan memotivasi mereka demi hidup Wahyu di masa depan.

Mereka memasukkannya ke SLB Pengasih, awalnya. Kemudian, ketika usia 7 tahun, Wahyu pindah ke SLB di Panjatan, 11 kilometer dari rumah mereka.