Find Us On Social Media :

Demi Antar Anaknya yang ‘Down Syndrome’, Kedua Lansia Ini Rela Bersepeda Belasan Kilometer

By Ade Sulaeman, Rabu, 28 Maret 2018 | 13:30 WIB

Intisari-Online.com - Mendung tebal pagi ini di perbukitan Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta. Hawanya sangat sejuk karena awan turun menyelimuti perbukitan itu.

Pada sebuah jalan menurun dengan aspal mulus yang membelah bukit, melintas cepat seorang pria setengah baya mengemudi sepeda ontel berwarna hijau pudar. Tubuhnya kecil, kulitnya sawo matang, wajahnya berkeriput dalam, dan kaki mengenakan sandal jepit usang.

Hernowo (60), warga Dusun Anjir, Desa Hargorejo di Kokap, ini membiarkan roda sepedanya menggelinding begitu rupa mengikuti kontur menurun bukit. Ia hanya menjaga keseimbangan agar dua orang di belakangnya tidak oleng lantas terjatuh.

Duduk paling belakang adalah Kamilah (61), wanita yang dinikahi 21 tahun lalu. Perempuan berkerudung ini duduk di boncengan sambil memanggul tas sekolah. Ia sesekali  melambai-lambaikan tangan untuk memberi tanda pada para pengendara dan pengguna jalan lain ketika Hernowo hendak berbelok ke kanan atau ke kiri.

(Baca juga: Kesal Di-bully Mempunyai Wajah Seperti Penyihir, Wanita Ini Putuskan Operasi dan Begini Hasilnya)

Hernowo tidak hanya membonceng Kamilah. Seorang lagi, Wahyu Heri Setiyawan, seorang bocah berseragam batik dengan corak Geblek Renteng putih merah dengan pandangan kosong dan mulutnya setengah terbuka. Bocah berumur 13 tahun itu duduk diapit keduanya.

Hernowo, Kamilah, dan Wahyu sedang dalam perjalanan menuju ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 di Kecamatan Panjatan, Selasa pagi ini. Sepanjang jalan mereka lebih banyak diam.

Kamilah dan Wahyu mempercayakan perjalanan itu pada Hernowo yang bertubuh kecil. Termasuk memilih jalan, simpangan, bahkan rel kereta api mana yang mesti dilewati.

Liwat teteg wetan. Sanes teteg kulon. Sing kulon rame. (Bahasa Jawa: lewat palang pintu KA sebelah timur, bukan barat. Sebelah barat ramai). Wetan boten (Timur tidak) menanjak. Kalau sepi bisa langsung, mboten nuntun (tidak dituntun),” kata Kamilah.

Mereka keluar pagi sekali pukul 06.30 WIB dari rumahnya di Dusun Anjir, bersepeda, dan seperti biasa, Wahyu mesti masuk kelas sebelum pukul 08.00 WIB. Ia akan bergabung dengan 5 temannya di kelas 5C di SLB itu sampai lewat tengah hari. Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.

Dari rumah di sebuah bukit di Kulon Progo, mengayuh sepeda hingga ke SLB dilakoni Hernowo dan Kamilah agar Wahyu bisa sekolah hari Senin-Jumat. SLB di Desa Gotakan, Panjatan, itu sebenarnya hanya 11-an kilometer dari Anjir. Meski jarak tak jauh, Hernowo mengayuh sepeda hampir 60 menit dengan sepeda ontel. Perjalanan selama itu karena kontur jalan dan keramaian kota yang dilewati.

Wahyu adalah anak semata wayang dari Hernowo dan Kamilah. Warga mengenalnya sebagai pasangan suami istri penjual kayu bakar. Hernowo biasa mencari dan memotong kayu, Kamilah mengikatnya setelah mengeringkan dengan cara diangin-angin. Kayu itu dijual Rp 6.000 per ikat pada seorang pengepul. Penghasilan dari kayu ini minim. Kayu belum tentu terjual tiap minggu.