Penulis
Intisari-online.com -Awal tahun 2020, Jenderal Iran Qasem Soleimani terbunuh akibat serangan yang dikomando oleh Donald Trump.
Saat itu, Soleimani sedang berada di Baghdad.
Namun mengapa ia justru berada di Baghdad?
Rupanya, ada misteri lebih besar yang belum terkuak di balik itu.
Dilansir dari Independent, Perdana Menteri Irak akhirnya menceritakan jika dia saat itu seharusnya bertemu dengan Soleimani.
Apa tujuan dari pertemuan mereka?
Mereka bertemu dengan tujuan membahas pergerakan yang dibuat untuk mengurangi konfrontasi antara kelompok Syiah Iran dan kelompok Sunni Arab Saudi.
Perseteruan Syiah dan Sunni memang sudah mendarah daging di kehidupan Timur Tengah, dan disebut-sebut sebagai sumber segala permasalahan yang ada di sana.
Perdana Menteri Irak, Adil Abdul-Mahdi menyatakan dengan jelas: "aku harusnya bertemu dengan dia pagi hari saat dia dibunuh, dia membawa pesan dari Iran merespon pesan yang kami bawa dari Saudi untuk Iran."
Abdul-Mahdi juga menyatakan jika Donald Trump telah meneleponnya untuk meminta dia menjadi mediator setelah serangan kedutaan Amerika di Baghdad.
Pihak resmi Irak menyatakan, kontak dibuat dengan sejumlah pasukan sipil dikerahkan di Teheran.
Blokade serangan selanjutnya diangkat dan Donald Trump berterima kasih kepada Abdul-Mahdi.
Baca Juga: Resmi Dibuka, Yuk Nikmati Keseruan ICEFEST 2019, Berwisata di 'Winter Village' Pertama di Indonesia!
Kini kita tahu, hal itu mungkin cara Donald Trump mengalihkan perhatian Irak.
Sebelumnya Irak sama sekali tidak tahu jika perjalanan Soleimani ke Baghdad telah dibuat tidak aman oleh beberapa oknum.
Ini menunjukkan sepertinya Donald Trump membantu membujuk Soleimani untuk berada di tempat ia dapat terbunuh.
Sangatlah mungkin jika Trump tidak tahu hal penting yang akan Soleimani lakukan di Baghdad, atau tahu, tapi tidak peduli.
Abdul-Mahdi kecewa dengan Trump, yang meskipun menunjukkan rasa dukanya saat mediasi berlangsung, dia juga merencanakan serangan pada Soleimani.
Meski ada kemungkinan jika perencana militer Amerika tidak tahu sama sekali tentang pembicaraan Trump dan Abdul-Mahdi, dan membunuh Soleimani saat kesempatan datang.
Pembicaraan penting antara dua kelompok Islam yang tertunda akan menjadi ancaman jika semakin tertunda.
Di kota Riyadh sendiri, reaksi atas kabar mengejutkan tersebut tidak diberitakan.
Baca Juga: Sempat Memanas, Ini Alasan Trump Menarik Diri dari Peluang Berperang dengan Iran
Raja Salman telah mengirim adiknya, Khalid bin Salman, yang juga anggota kementerian pertahanan, untuk pergi ke Washington dan mendesak dihentikannya serangan.
Risiko sangat nyata jika wilayah tersebut menjadi arena konflik telah membawa ke kooperasi langka antara Arab Saudi dan Qatar, yang menteri luar negerinya pergi ke Teheran untuk mencari cara penenangan yang sama dilakukan oleh Khalid bin Salman ke Washington.
Menteri luar negeri Qatar, Muhammad bin Abdulrahman Al Thani bertemu dengan Hassan Rouhani, presiden Iran, guna mendiskusikan perlunya mempertahankan keamanan dan stabilitas willayah.
Bersamaan dengan itu, menteri luar negeri Uni Emirat Arab, Anwar Gargash, menyebut di Twitternya, "bijak dan keseimbangan harus kita lakukan."
Takut jika terperangkap dalam perang antara Iran dan Amerika, Arab Saudi menyatakan wilayah di sana rentan terhadap pasukan sipil Teheran, terutama di Lebanon, Yaman, Irak dan Suriah.
Ada kekhawatiran jika Amerika, setelah melepaskan gelombang rudal, mau melakukan apapun ketika kesulitan sedang terjadi di negara musuh mereka.
Arab Saudi tahu, di akhir musim panas lalu, jika mereka tidak bisa selalu bergantung pada komitmen Amerika.
Lebih-lebih, saat serangan misil dan drone dilakukan pada fasilitas tambang minyak untuk bertujuan mengurangi produksi minyak Arab Saudi.
Trump dengan cepat menyalahkan Iran atas serangan tersebut, tetapi tidak ada respon militer Amerika, sama halnya dengan tidak ada serangan dari kerajaan Arab Saudi dari Yaman.
Ahli sosiologi dan politik Arab Saudi Khalid a-Dakhil menyatakan, Arab Saudi dan negara di teluk Gulf tidak mau memusuhi Iran, karena situasi yang sangat rentan di wilayah Timur Tengah dan tidak ingin memberi percikan api pada bara yang masih panas.
Analis keamanan Inggris Robert Emerson mengatakan sangat jelas mengapa kehati-hatian sangat diperlukan. "Kamu tidak tahu apakah Trump hanya akan memantik api lalu menghilang," ujarnya.
"Arab Saudi sangat patut untuk khawatir. Perbincangan mengenai negosiasi Arab dan Iran merupakan topik panas, detail ke depannya akan segera mencuat."
Baca Juga: Besok Akan Ada Gerhana Bulan, Benarkah Bisa Sebabkan Gelombang Tinggi? Ini Kata Ahli
Artikel ini merupakan saduran dari artikel berbahasa Inggris. Untuk membaca artikel aslinya ada di sini.