Advertorial
Intisari-Online.com - Warga Amerika ketar-ketir menunggu balasan karena perbuatannya sendiri yang telah bunuh pemimpin Pasukan Quds Iran Qassem Soleimani.
Namun sepertinya Israel tanpa malu-malu dan dengan senang hati bergembira atas kabar kematian tersebut.
Kepemimpinan Israel, terutama Naftali Bennett, telah menyambut kematian seorang pria yang mereka anggap paling berbahaya dan musuh utama Israel.
Bagi Israel, rezim Iran telah menyalahkan Israel seperti halnya Amerika Serikat.
Demikian juga dengan Hassan Nasrallah yang memimpin Hizbullah, kolaborator Iran di Libanon, Suriah, dan Yaman.
Patut dicatat bahwa seorang mantan kepala Korps Pengawal Revolusi Islam, Mohsen Rezaee, sebelumnya menyatakan bahwa Israel telah memberikan informasi kepada Amerika Serikat tentang keberadaan Soleimani.
Times Teheran, melaporkan bahwa secara tidak langsung Israel telah terlibat dala pembunuhan Jenderal Soleimani.
Atas insiden ini, Teheran tentu akan menghindari operasi langsung terhadap pasukan Amerika.
Dan Trump jelas enggan menyeret Amerika Serikat ke dalam imbroglio Timur Tengah lainnya.
Namun perang antara Israel dan Hizbullah, atau bahkan Iran sendiri, adalah masalah lain.
Menanggapi ancaman tegas dari Hizbullah dan Teheran, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk pertama kalinya secara resmi mengungkapkan bahwa Israel memiliki kekuatan nuklir.
Kabinet perang negara telah bertemu secara teratur, dan pasukannya berada pada siaga tingkat tinggi.
Terlebih lagi, Netanyahu berbeda dari Donald Trump.
Trump memiliki setiap insentif untuk menghindari konflik, yang dapat membahayakan prospek terpilihnya kembali dirinya dalam pemilihan presiden nanti.
Di sisi lain, Netanyahu, berjuang untuk kehidupan politiknya dan berusaha untuk mendapatkan kekebalan dari penuntutan karena menerima suap dan melakukan kejahatan lainnya.
Mungkin sebenarnya Israel menikmati ketegangan yang berkepanjangan dengan Teheran.
Patut dicatat bahwa pada saat menjelang Perang Teluk 1991, Washington mengirim Wakil Sekretaris Negara Lawrence Eagleburger ke Yerusalem untuk memohon kepada Perdana Menteri saat itu Yitzhak Shamir untuk tidak membalas terhadap Saddam jika Irak menembakkan rudal ke negara Yahudi.
Shamir menyetujui permintaan Eagleburger, sebagian karena Washington mengirim rudal Patriot untuk membantu membela Israel melawan rudal Scud Irak (terbukti tidak efektif), tetapi yang lebih penting karena Shamir tidak ingin mengganggu aliran besar imigran ke Israel.
Uni Soviet, yang tentunya akan menjadi masalah jika Israel berperang dengan Iran.