Penulis
Intisari-online.com -Pembunuhan Jenderal Iran Qasem Soleimani yang terjadi di Irak rupanya dimulai sejak serangan tanggal 27/12/2019, yang tercatat membunuh warga sipil seorang kontraktor Amerika.
Amerika menyalahkan pasukan militan Kata'ib Hezbollah, yang merupakan militan gabungan antara Iran dan Irak, dan selanjutnya melancarkan serangan menyerang 5 fasilitas Hezbollah di Irak dan Suriah.
Saat itu tercatat terdapat 25 pasukan Hezbollah gugur, dan lusinan pasukan terluka.
Selanjutnya Iran melawan dengan menggerakkan militan Irak, yang berhasil mengepung Kedutaan Amerika di Baghdad, sebelum sama-sama menarik pasukan pada Tahun Baru.
Dua hari kemudian, Soleimani ditarget dan dibunuh.
Pembunuhan tersebut diyakini adalah bagian dari upaya konteks memanaskan ketegangan antara Amerika dan Iran, entah apapun motif dari pembunuhan tersebut.
Kebijakan Trump untuk memberikan tekanan maksimal pada Iran adalah untuk mengubah perilaku Iran.
Tentunya, itu membuat Iran mengadopsi menyiapkan ketahanan maksimal untuk menangkis serangan Amerika.
Namun, terbunuhnya Jenderal Soleimani telah membawa konfrontasi keduanya ke level baru.
Pasalnya, Jenderal Soleimani adalah dalang strategi Iran mempertahankan Timur Tengah dan berperan penting mengirim pasukan kekuatan Iran di seluruh wilayah Timur Tengah.
Terhadap banyak tokoh politik di Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman, dia merupakan pimpinan penting, selain menjadi pihak Iran paling penting di seluruh wilayah juga sangat kuat dan tokoh populer di Iran.
Pembalasan dendam membuat beberapa pihak khawatir harga minyak akan meningkat drastis pada hari Senin, dan stok pasar mata uang Amerika akan jatuh.
Baca Juga: Muncul Penampakan Siluet Tanduk Setan di Tengah Laut, Apa Sebenarnya Itu?
Pembunuhan Soleimani akan berdampak pada berakhirnya kesepakatan nuklir, yang sebelumnya Iran mengumumkan patuh terhadap peraturan tersebut.
Namun pada hari Minggu 5/1/2020, pemerintah Iran menyatakan ia akan menghapus semua pembatasan pada 'produksi, termasuk kapasitas pengembangan' program nuklir.
Tentu ini membunuh prospek perdamaian antara Amerika dan Iran, dan semakin dekat dengan puncak 'tekanan maksimal' melawan 'pertahanan maksimal'.
Dalam konteks militer, Iran tidak dapat menyakiti Amerika tanpa adanya risiko penghancuan total.
Bahkan, banyak yang menganggap ketegangan ini akan segera memicu perang antara keduanya.
Iran dapat bergerak bebas dalam lingkungan politik dan penjagaan hybrid dengan membangkitkan konflik di Timur Tengah: Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman.
Namun pilihan Iran tidak hanya negara ini saja, karena Iran masih dapat menyerang pasukan AS dan kedutaan besarnya.
Dan Iran telah menyerang Amerika di pangkalan militer mereka di Irak.
Iran mengalami paradoks bahwa satu sisi, mereka perlu membalas pembunuhan tersebut dengan kekejaman serupa.
Jika begitu, respon Iran tidak dapat dibatasi dari pasukannya mengirim rudal ke pasukan Amerika, meskipun langkah itu terdengar cukup lemah.
Di sisi lain, perlunya membangun hubungan damai harus diseimbangkan dengan fakta jika Iran berurusan dengan pihak administrasi yang menunjukkan kemauan menyerang.
Jika begitu, Iran dapat saja mengirim tangker serangan ke Gulf, menculik warga Amerika di negara mereka atau menarget fasilitas Amerika dan kedutaan mereka baik itu di Irak, Lebanon, Suriah dan Yaman.
Baca Juga: Tak Hanya Dikhawatirkan Picu Perang Dunia III, Ini Dampak Ketegangan Iran-AS pada Ekonomi Indonesia
Dapat juga mobilisasi pasukan Hezbollah Lebanon melawan Israel.
Yang terakhir, dapat dengan jelas mengundang respon tidak mengenakkan.
Di Timur Tengah sendiri, Irak akan kesulitan menghadapi krisis ini.
Iran akan sangat sensitif terhadap oposisi Irak di waktu seperti ini, dan mengharapkan solidaritas serta dukungan.
Ekstrimnya, bisa terjadi perang sipil.
Jika begitu, Iran dapat dengan cepat membangkitkan ISIS di Irak dan Suriah, baik itu tanpa sengaja maupun disengaja.
ISIS akan mendapatkan ruang bergerak lebih dengan diversi persiapan Amerika di Irak dan Suriah menghadapi ancaman Iran selanjutnya.
Jika tidak, maka ISIS dapat bermanuver di Irak jika Amerika memutuskan tidak membagi persiapan.
Baca Juga: Ini Kata Rumah Sakit Terkait Jenazah Lina yang Dicurigai dalam Keadaan Lebam
Kemudian, usaha melawan ISIS akan terkendala jika pasukan udara, intelijen dan pasukan lainnya ditarik oleh Amerika.
Sementara itu Iran dapat melihat ini untuk cara mendukung kembalinya ISIS di beberapa masalah di Irak.
Hal itu dalam rangka memberi tekanan kepada Amerika dan mengkonsolidasi kekuatan mereka di Irak menggunakan ancaman-ancaman tertentu.
Skenario ini juga memberi kesempatan pihak elit yang memegang kekuasaan mampu mengisolasi gerakan protes Irak.
Kembalinya ISIS akan bermanfaat dalam peranan Iran di Suriah, dan mampu semakin menekan Amerika yang dapat berakibat Amerika menarik pasukannya.
Meski begitu tidak perlu dibesar-besarkan, walaupun Iran dapat membombardir Irak kapan saja, negara itu penting bagi kehidupan ekonomi Iran.