Satu Dibenci, Satu Lagi Dicintai oleh Muslim Indonesia, Tapi Dua Negara Ini Justru Diprediksi akan Kompak Bantu Amerika Serikat Jika Sampai Berperang dengan Iran

Ade S

Penulis

Ada yang dipandang sebagai musuh, ada yang dipandang sebagai sahabat. Tapi dua negara ini akan kompak bantu AS jika berperang dengan Iran.

Intisari-Online.com -Hubungan Amerika Serikat dan Israel semakin memanas setelah seorang Jenderal Iran, Qosem Soleimani tewas dalam sebuah serangan yang berlangsung di Bandara Baghdad, Irak, Jumat (3/1/2020).

Pentagon sendiri pada akhirnya mengakui bahwa mereka, atas perintah Presiden Donald Trump, bertanggung jawab atas kematian tersebut.

"Atas arahan Presiden, militer AS menggunakan tindakan penting dengan membunuh Qasem Soleimani, Kepala Pasukan Quds," kata Pentagon sebagaimana dikutip dari pemberitaan Kompas.com (3/1/2020).

Iran pun geram dan siap melancarkan balas dendam yang mengerikan kepada Amerika Serikat.

Baca Juga: Jenderal Iran Dibunuh dengan Serangan Drone, Beginilah Mengerikannya Kerja Drone Pembunuh yang Digunakan dalam Militer

Jika sampai itu terjadi, maka ada dua negara di Timur Tengah yang diprediksi akan menyediakan segenap tenaga untuk membantu melindungan Amerika Serikat.

Salah satu negara dianggap sangat bersahabat oleh banyak muslim di Indonesia.

Sementara satu negara lagi justru dianggap sebagai musuh.

Siapakah negara yang dimaksud?

Baca Juga: Jenderalnya Dibunuh AS, Diam-diam Iran Langsung Kejutkan AS dengan Buat Serangan Ini, Iran: 'Ini baru Permulaan'

Sebelumnya, mari kitamerujuk pada laporanThe New York Times pada November 2018.

Saat itu, Amerika Serikat dikabarkantelah mencapai kesepakatan kerangka kerja untuk penjualan pembangkit listrik tenaga nuklir ke Kerajaan Arab Saudi. Kesepakatan itu dikatakan bernilai hingga AS$80 miliar.

Mendapat sorotan terkait sumber uranium, Riyadh bersikeras membuat bahan bakar nuklirnya sendiri, meskipun lebih murah untuk membeli di luar negeri.

Padahal, banyak yang takut proyek pembangkit listrik tersebut hanyalah kamuflase pihak Arab Saudi untuk membangun sebuah proyek bom atom di negara kaya minyak tersebut, sepertidikhawatirkanpara pejabat intelijen AS.

Namun, faktanya pemerintah AS juga sahabat dekat mereka di Timur Tengah, Israel, tidak terlalu mengkhawatirkan akan potensi tersebut.

Monarki Saudi ditenangkan, dan, pada gilirannya, terus menjelek-jelekkan teokrasi Iran - pandangan dunia yang keras dengan dasar-dasar geopolitik yang sederhana.

Kedekatan hubungan Amerika Serikat-Arab Saudi sendiri berawal sejak Perang Dunia II,saat terjadipertemuan antara Presiden Franklin D. Roosevelt dan pendiri kerajaan, Ibn Saud, pada 20 Februari 1945, di atas USS Quincy di Danau Great Bitter dekat Kairo.

Sejak saat itu, Arab Saudimengirimkan minyak ke AS dengan persyaratan preferensial, dan AS telah membalasnya dengan menjamin keamanan monarki Saudi, terutama dalam bentuk ekspor senjata dalam jumlah besar - hampir 10 persen dari seluruh penjualan senjata AS pergi ke Arab Saudi.

Senjata untuk minyak - ini adalah salah satu pilar hubungan khusus antara kedua belah pihak.

Baca Juga: Jika AS dan Iran Berperang, Siapa yang Lebih Unggul? IniPerbandingan Kekuatan Militer Keduanya

Lalu bergeser ke periode1980-an,saat kapitalisme di pasar Amerika Serikat menjalin hubunagn mesra dengan para investor dari Arab Saudi.

Tidak ada satu pun perusahaan AS yang dimiliki publik dapat berdiri tanpa modal dari Arab Saudi. Sementara tingkat pasti investasi Saudi di pasar AS tidak diketahui, angkanya diperkirakan mencapai ratusan miliar dolar.

Kerja sama minyak dan investasi tersebut kemudian mulai menjadi jalan pintas eratnya hubungan antaradinas intelijen Amerika dan Saudi, yang membuahkan hasil selama perang Iran-Irak (1980–1988) serta selama pendudukan Soviet di Afghanistan (1979–1989).

Pada saat itu, Aran Saudi menyediakan dana yang cukup besar bagi Mujahidin, para pejuang agama dikerahkan sebagai pasukan gerilya untuk memerangi Soviet. Mujahidin kelak akan menelurkan Taliban dan Al Qaeda - sebuah fakta yang terlalu dilupakan oleh politik Washington.

Bahwa Arab Saudi mengekspor tidak hanya minyak bumi, tetapi juga teror Islam, pasti merupakan realisasi yang menyakitkan bagi Amerika pada 11 September 2001 - 15 dari 19 pembunuh berasal dari Arab Saudi. Konsekuensinya? Tidak ada.

Musuh bersama bernama Iran

Namun alasan lain dari keengganan Amerika Serikat untuk mengganggu segala kebijakan Arab Saudiadalah karena keduanya, juga Israel, memiliki musuh bebuyutan yang sama: Iran

Segitiga ini - atau mungkin bujur sangkar, jika Uni Emirat Arabdimasukkan- menganggap Republik Islam ini tidak lebih dari sebuah kerajaan kejahatan. Mereka semua bermimpi tentang perubahan rezim di Teheran, jika perlu dengan cara militer.

Baca Juga: Tidak Disangka, Serangan AS Terhadap Iran Dapat Menyebabkan Harga BBM di Indonesia Naik, Diprediksi Ahli 2020 Harga Minyak Bumi Melonjak Naik, Mengapa?

Washington dan Israel di atas semua yakin bahwa Iran berusaha untuk memusnahkan negara Israel. Selain itu, Teheran menggunakan merek politik kekuasaan yang membuat sekutu AS di Riyadh dan Abu Dhabi merasa terancam.

Pemerintah Iran memang terlibat dalam polemik anti-Israel yang semakin agresif. Demi keseimbangan, perlu dicatat bahwa orang Israel, terutama di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, jarang berusaha untuk meredam retorika mereka vis-àvis Iran.

Tetapi dapatkah Republik Islam benar-benar "memusnahkan" Israel, bahkan jika kepemimpinannya saat ini benar-benar diinginkannya?

Sebenarnya, ini tidak mungkin karena dua alasan kritis. Pertama, Israel memiliki bom atom dan Iran tidak. Israel tidak membagikan informasi tentang potensi nuklir mereka dan, berbeda dengan Iran, ditekan harus transparan menjelaskan setiap detail program nuklirnya.

Perkiraan kisaran kapasitas Israel antara 75 dan 400 bom atom, yang menempatkan mereka dalam satu peringkat bersamaInggris dan Prancis.Iran tidak memiliki senjata nuklir dan pada tahun 2003, sebagaimana dikonfirmasi oleh intelijen AS, menghentikan semua upaya untuk mendapatkannya.

Sebuah negara tanpa bom atom tidak mampu "memusnahkan" negara yang memilikinya. Itu secara objektif tidak mungkin.

Alasan kedua adalah terkait dengananggaran militer masing-masing. Pada 2017, Iran memiliki pengeluaran militer sebesar AS$14 miliar, Arab Saudi AS$70 miliar, Israel AS$58 miliar dan AS$750 miliar.

Angka-angka berbicara sendiri. Saran bahwa Teheran mengejar program politik kekuasaan yang luas - mengingat hegemoni AS di kawasan itu sejak Perang Dunia II - menggelikan.

Baca Juga: Sering Menjadi Pertanyaan, Mengapa Iran Dan Amerika Saling Membenci, Rupanya Ini Penjelasannya

Artikel Terkait