Penulis
Intisari-Online.com - Sidang tuntutan kasus kepemilikan dan penyalahgunaan narkoba dengan terdakwa penyanyi Zul Zivilia kembali ditunda.
Dilansir dari Kompas.com, Ketua Majelis Hakim Tiares Sirait meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyelesaikan berkas-berkas yang belum lengkap.
Karena, hakim takut dianggap tidak serius dalam menggelar persidangan.
Kasus mengedarkan narkoba dalam jumlah yang cukup besar ini pun membuat Zul terancam hukuman mati.
Terlebih barang bukti yang disita dari tangan Zul tak sedikit jumlahnya, yakni sabu seberat 9,5 kilogram, pil ekstasi sebanyak 24.000 butir, dan timbangan elektrik.
"Dengan barang bukti ini, yang bersangkutan (Zul) bersama rekan-rekannya terancam maksimal hukuman mati, minimal 20 tahun, tergantung perannya," ucap Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Suwondo Nainggolan di Mapolda Metro Jaya, kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, Jumat (8/3/2019).
Zul sendiri diketahui pasrah terhadap keputusan hakim.
"Kalau (vonis hakim) saya sih sudah siap, apapun nanti hasilnya. Karena keputusan manusia, keputusan Allah juga," katanya.
Sementara itu, tahukah Anda di mana lokasi eksekusi hukuman mati biasanya dilakukan.
Ya, eksekusi hukuman mati biasa dilakukan di Pulau Nusakambangan.
Pulau Nusakambangan memang dikenal sebagai pulau para tahanan.
Di atas daratan pulau ini, terdapat beberapa lapas yang dikhususkan sebagai rumah tahanan bagi narapidana dengan tingkat kejahatan tinggi.
Misalnya ada lapas khusus bandar narkoba, lapas untuk kasus pembunuhan dan pencurian, hingga lapas khusus napi kasus terorisme.
Nusakambangan juga disebut sebagai Alcatraznya Indonesia karena sangat sulit bagi napi untuk bisa melarikan diri dari pulau ini.
Setiap lapas juga dijaga dengan keamanan tingkat tinggi dan dilengkapi dengan teknologi keamanan modern seperti CCTV dan sensor gerak.
Namun, dari semua lapas canggih itu, ada sebuah lokasi yang menyimpan kesunyiannya sendiri.
Lokasi itu adalah Nirbaya, yang kerap dijadikan sebagai lokasi eksekusi mati bagi para tahanan Nusakambangan.
Seolah tak cukup 'angker', beberapa tahanan yang tidak dijemput atau tidak diakui keluarganya juga kabarnya dimakamkan di Nirbaya ini.
Nirbaya berupa bukit dengan lembah yang terletak di ujung selatan Pulau Nusakambangann.
Tempat ini adalah lapangan luas yang dipenuhi dengan tanaman rumput liar dan berbatasan dengan batuan karang.
Di balik jajaran karang itulah Samudera Hindia dengan ombaknya yang berdebur menghantam karang.
Tak sembarang orang bisa mendatangi Nirbaya.
Jalan menuju Nirbaya cukup terjal dan berat karena memang sengaja tidak dibersihkan serta dipugar.
Nirbaya merupakan lokasi peninggalan Belanda.
Dulu, tempat ini merupakan lapas yang didirikan oleh Belanda namun ditutup tahun 1986.
Bangunannya telah hancur dan tersisa puing-puing yang menebarkan kesan sunyi dan ngeri sekaligus.
Meski seseorang datang ke tempat ini tanpa tahu bahwa lokasi eksekusi mati di Nusakambangan dilakukan di lokasi ini, tetap saja mereka akan merinding takut.
Kalau tidak terdapat bangunan, lalu bagaimana para narapidana dihukum mati di tempat ini?
Biasanya, eksekusi dilakukan pada tengah malam dengan tiang kayu yang telah disiapkan terpancang di tengah pekarangan kosong itu.
Dengan diiringi deburan ombah Samudera Hindia, timah panas akan diluncurkan tepat pada jantung tahanan itu.
Setelah itu semua kembali sunyi menanti menit-menit menegangkan hingga si tahanan benar-benar tak bergerak lagi.
Eksekusi paling awal yang dilakukan di Nirbaya terjadi pada tahun 1985 dan 1987.
Terpidana lain yang meregang nyawa di Nirbaya adalah pelaku kasus bom Bali, Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Ghufron.
Terpidana kasus narkotika di jaringan Bali Nine juga dilakukan di lokasi ini.
Bagi warga di sekitar Pulau Nusakambangan, hampir setiap sudut pulau ini mengeluarkan area negatif.
Bahkan, warga juga percaya hal mistis mengenai banyaknya makhluk halus yang menghuni Nusakambangan, khususnya di bukit Nirbaya.
Namun, warga juga mengaku telah terbiasa mengenai pelaksanaan hukuman mati di Nirbaya.
Mereka juga tidak pernah menjelajahi sampai ke lokasi itu karena dianggap terlalu berbahaya dan menyeramkan.
(Aulia Dian Permata)