Penulis
Intisari-Online.com – Pada Minggu (24/11/2019) pukul 18.00 waktu Korea Selatan, Goo Hara, mantan anggota girl group KARA dan seorang aktris, ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di di apartemennya, di kawasan Cheongdam, Seoul.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi terkait penyebab kematian penyanyi berusia 28 tahun tersebut.
Namun pada Senin (25/11/2019), kepolisian wilayah Gangnam, Seoul, sudah merilisi pernyataan resmi terkait kronologi ketika Hara pertama kali ditemukan.
Selain itu, kepolisian juga telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan melakukan autopsi pada jenazah Goo Hara.
Keputusan itu dibuat karena setelah mengumpulkan pernyataan dari keluarga dan melihat situasi di lokasi kejadian, tidak ada tanda-tanda terjadi kejahatan.
Production Oki, agensi Goo Hara dari Jepang, menyatakan bahwa upacara pemakaman Goo Hara akan dilakukan secara tertutup.
Namun para penggemar diberikan kesempatan untuk memberikan penghormatan kepada Goo Hara di Rumah Sakit Universitas Korea Seoul St. Mary's - Funeral Hall 1 pada 25 hingga 27 November 2019 mulai pukul 15.00 hingga tengah malam.
Sementara keluarga dan teman-teman mendiang Hara akan memiliki area yang terpisah.
Apakah Anda tahu bagaimana kerja otopsi?
Dalam beberapa kasus kematian yang tidak wajar, otopsi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk mengetahui penyebab kematian seseorang.
Baca Juga: Kasus Cacing Parasit yang Bersarang di Mata Manusia: Mengapa Cacing Bisa Hidup di Mata Manusia?
Tapi masih banyak pihak keluarga korban yang tidak menginginkan hal tersebut dilakukan.
"Ada hal-hal atau situasi tertentu, di mana bedah mayat tidak bisa dilakukan,” kata ujar Prof. DR. Herkutanto, dr., SpF, ahli forensik dari Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM seperti dilansir kompas.com pada 2012 silam.
“Alasannya karena tekanan-tekanan masyarakat dan tekanan sosial.”
Herkutanto menjelaskan, banyaknya penolakan otopsi yang datang dari pihak keluarga korban umumnya disebabkan karena ketidaktahuan mereka tentang otopsi.
Padahal dengan otopsi bisa diketahui penyebab pasti kematian, mekanisme kematian dan saat kematian.
Banyak yang beranggapan bahwa proses ptopsi tidak berguna karena tidak bisa menghidupkan kembali korban yang sudah mati.
Kemudian ada pula yang berpikir bahwa dengan diperiksa bagian dalamnya, maka ada organ tubuh yang kemudian diambil.
"Perlu diketahui bahwa organ-organ itu tadi tidak ada gunanya secara medis. Itu hanya suatu anggapan yang sangat keliru," jelasnya.
Pemeriksaan forensik pada korban meninggal biasanya dilakukan atas permintaan polisi pada korban mati yang diduga akibat tindak pidana, korban mati tidak wajar atau diduga mati tidak wajar.
Sebab, polisi membutuhkan hasil otopsi untuk segera melakukan penyidikan.
Hal ini pun diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133 ayat 1, 2, dan 3.
"Di dalam pasal itu disebutkan untuk kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang meminta keterangan ahli,” jelas Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto kepada kompas.com pada tahun 2012 silam.
Ada pasal lainnya yang mengatur perihal otopsi yakni Pasal 134 ayat 1,2,3 KUHAP.
Di sana, disebutkan bila untuk pembuktian, bedah mayat tidak mungkin dihindari, maka penyidik wajib informasikan kepada keluarga dan wajib menerangkan sejelas-jelasnya maksud dan tujuan otopsi.
Bila 2 x 24 jam tidak ada tanggapan dari keluarga, maka penyidik segera laksanakan otopsi.
Tapi untuk pasal ini, biasanya digunakan untuk kasus penemuan mayat yang diketahui identitasnya dan keluarganya dan ada keragu-raguan di dalamnya apakah dia tewas karena sakit atau tindak pidana.
Tapi tetap saja, polisi akan menunggu persetujuan keluarga.
Umumnya polisi membutuhkan hasil otopsi berdasarkan cara kematian. Kematian dibagi menjadi dua, yakni kematian wajar dan tidak wajar.
Kematian wajar adalah kematian yang disebabkan oleh penyakit. Sedangkan kematian tidak wajar biasanya karena bunuh diri, pembunuhan dan kecelakaan.
Kematian wajar paling banyak terjadi karena penyakit kardiovaskular (lebih dari 70 persen).
Sedangkan kematian tidak wajar paling banyak karena kekerasan benda tumpul, tajam dan senjata api.
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Anggapan Keliru Tentang Otopsi di Masyarakat")
Baca Juga: Lolos Seleksi CPNS 2019 Lalu Mundur? Awas, Anda Bisa Kena Denda Rp25 Juta hingga Rp100 Juta!