Penulis
Intisari-Online.com - Menyimak pergantian presiden dan kabinet serta jajaran menteri-menterinya memang menarik.
Termasuk yang pernah terjadi dan terekam dalam sejarah berkaitan dengan lengsernya Presiden Seharto.
Waktu itu tanggal 18 Mei 1998, Pukul 15.20 WIB, Harmoko di GedungDPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa.
Mereka dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Pukul 21.30 WIB, empat Menko diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan.
Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle.
Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu".
Namun, niat itu--mungkin ada yang membocorkan--tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto.
Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya."
Tanggal 19 Mei, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi.
Ada yang tidak setuju kalau Soeharto memenuhi permintaan untuk mundur, karena sama saja tidak menyelesaikan masalah.
Tanggal 20 Mei 1998
Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas.
Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir.
Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle.
Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat.
Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono.
Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto.
Soeharto langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu.
Soeharto saat itu benar-benar terpukul. Ia merasa ditinggalkan.
Baca Juga: Sebuah Desa Jepang Ditemukan di Hutan Kanada, Kok Bisa?
Apalagi, di antara 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat ketidaksediaan itu, ada orang-orang yang dianggap telah "diselamatkan" Soeharto.
Ke-14 menteri yang menandatangani--sebut saja Deklarasi Bappenas--itu, secara berurutan adalah:
Ir Akbar Tandjung; Ir Drs AM Hendropriyono SH, SE, MBA; Ir Ginandjar Kartasasmita; Ir Giri Suseno Hadihardjono MSME; Dr Haryanto Dhanutirto; Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah M.Sc; Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto M.Sc; Ir Rachmadi Bambang Sumadhijo; Prof Dr Ir Rahardi Ramelan M.Sc; Subiakto Tjakrawerdaya SE; Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc; Ir Sumahadi MBA; Drs Theo L. Sambuaga; dan Tanri Abeng MBA.
Baca Juga: Jika Kim Jong Un Digulingkan, Inilah Sosok Orang yang Akan Menggantikannya
Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya.
Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur.
Soeharto benar-benar tidak menduga akan menerima surat seperti itu.
Persoalannya, sehari sebelum surat itu tiba, ia masih berbicara dengan Ginandjar untuk menyusun Kabinet Reformasi.
Ginandjar masih memberikan usulan tentang menteri-menteri yang perlu diganti, sekaligus nama penggantinya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang.
"Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu.
Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujarnya.
Tanggal 21 Mei 1988
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya.
Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya.
"Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7."
"Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita di Balik Mundurnya Soeharto"