Penulis
Intisari-Online.com - Siapa yang tidak mengenal sang pahlwan revolusi, Jenderal Achmad Yani?
Tentu rakyat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan nama tersebut.
Terlebih lagi, nama Jenderal Achmad Yani diabadikan sebagai jalan-jalan utama disetiap daerah yang ada di Indonesia.
Jenderal Achmad Yani sendiri memiliki putri, salah satunya yakni Amelia Achmad Yani.
Ia telah menceritakan kisahnya mengobati luka batin karena memori peristiwa pembunuhan ayahnya oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Dilansir dari Tribunnews, kisah yang dibagikan dua tahun lalu ini mengungkapkan bahwa Amelia Yani sempat tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah desa kecil untuk menepi dari keramaian kota.
Menurutnya, di desa tersebut, ia dapat berdamai dengan keadaan.
Perjalanan batinnya semakin kaya ketika ia mulai bertemu dengan para anggota keluarga keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan keluarganya.
Dilansir oleh Kompas.com 10 Oktober 2017 silam, melalui wawancara khusus wartawan Widianti Kamil, Amelia Yani sedang berada di Sarajevo, dalam tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina.
Amelia Yani adalah anak ketiga dari delapan putri dan putra almarhum Jenderal Achmad Yani dan almarhumah Yayu Rulia Sutowiryo.
Jenderal Achmad Yani sendiri gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September/G30S di Jakarta.
Ingatannya terhadap peristiwa G30S selalu muncul sebagai peristiwa kelam saat memasuki bulan September.
"Seperti sebuah potret yang berjalan," kata Amelia.
Dituturkan olehnya bahwa ia selalu mengadakan tahlilan di mana ia sedang berada.
"Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan.
Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo)," kata Amelia.
Ditanya perihal buku yang ditulis tentang ayahnya dan peristiwa G30S, Amelia menuturkan bahwa tujuannya adalah ingin agar generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya (terutama peristiwa G30S).
"Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu,"
"Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri."
"Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu."
"Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"
"Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban."
"Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis. Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro,"
"Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh."
"Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?" ungkap Amelia.
Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air.
"Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air." Begitu pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.
"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot." Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada," kata Amelia.
Amelia juga menuturkan bahwa ia sempat bercucuran air mata saat menulis buku tersebut.
Rasa trauma yang ia alami membangun visualisasi seolah sang ayah datang kembali dan merasa dekat dengannya.
"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis."
"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"
"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.
Dalam mengobati luka batinnya, Amelia Yani sempat pindah ke sebuah dusun di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 1998.
Tinggal di desa selama lebih dari 20 tahun membuatnya dapat menyembuhkan dirinya dari rasa dendam, amarah, dan benci.
"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik."
"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki.
Itu hilang. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,"
"Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang.
Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,"
"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu.
Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ungkap Amelia
Setelah 20 tahun berlalu atau tahun 2019, Amelia dan anaknya kemudian pindah kembali ke Jakarta.
"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," kata Amelia
Amelia juga mengaku pernah ikut serta dalam kontestasi politik di daerah Purworejo, Jawa Tengah. Namun demikian, ia gagal dan kembali pada aktivitas menulisnya.
"Di situ mulai satu jalan yang lain lagi. Partai politik (parpol), semua mulai masuk. Mau jadi bupati (Purworejo, Jawa Tengah), ndak berhasil. Sudah menang, tapi dikalahkan dengan drastis,"
"Uang habis. Pokoknya, mengalami semuanya, yang membuat saya menjadi matang, mungkin. Lalu, menulis lagi, menulis lagi,"
"Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi."
Siapa Amelia Achmad Yani?
Dilansir dari wikipedia, Amelia Yani lahir di Magelang, Jawa Tengah, 22 Desember 1949.
Ia adalah pegawai negeri sipil dan politisi berkebangsaan Indonesia.
Dia saat ini menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia–Herzegovina.
Ia adalah puteri pahlawan revolusi Jenderal Jenderal Achmad Yani.
Dia pernah memimpin (Ketua Umum) DPP Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) sejak November 2007.
Amelia Ahmad Yani juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang aktif, ia tercatat sebagai pengurus di organisasi-organisasi usaha.
Tahun 1993 hingga 1998 Amelia Ahmad Yani menjadi Ketua KADINDA Sleman.
Ia lalu menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Asia Pasifik KADINDA TK I Daerah Istimewa Yogyakarta, Koordinator KADINDA / PEMDA Misi dialog Dagang ke Sydney dan Adelaide Februari di tahun 1994 dan di tahun 1996-2000 menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian Yayasan Kartika Eka Paksi dan AMIK Kartika Yani Yogyakarta.
Karena keaktifannya di bidang bisnis, tanggal 3 Juni 1996 di Jakarta Amelia Ahmad Yani terpilih dalam "28 The Best Business Executives in Developing Indonesia 1996" dah juga sebagai Citra Kartini 1996 pada bulan April April 1996 di Jakarta.
Penghargaan yang di terima Amelia Ahmad Yani berlanjut di tahun 1997.
Nama Amelia Ahmad Yani tercatat sebagai salah satu dari "Five Hundred Leaders of Influence" American Biographical Institute USA, juga menerima The Platinum Record for Exceptional Performance by ABI, USA di tahun 1997 dan Member "International Who's Who of Profesionals 1997", USA.
Tahun 2000 Amelia Ahmad Yani kembali mengambil pendidikan di University of the America, Northbridge, California dan meraih gelar doctor dengan disertasi Rapid Economic Growth in The Rural Areas, Indonesian Experience in The Island of Java pada saat ia menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Agen Aspal Pertamina November 2000 - November 2003.
Baca Juga: Mobil Ini Dikepung 30 Buaya Ketika Melintas Jalan Raya, Banyak yang Mengintai dari Sisi-sisinya!
Amelia Ahmad Yani yang juga menjadi Ketua Koperasi Tirta Yani Utama ini pada tahun 2003-2004 bertugas sebagai Tim Ahli BAPPENAS untuk Pendampingan dan Pelatihan dalam Pengembangan Kawasan Cepat Tumbuh untuk Kawasan Timur Indonesia.
Amelia Ahmad Yani juga aktif di dunia politik, di tahun 2007 Amelia Ahmad Yani terpilih menjadi Ketua Umum Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), keaktifannya dalam membangun jaringan dan kekuatan PPRN menjadi peserta Pemilu 2009 dengan nomor urut 4 dan target perolehan suara PPRN sebanyak 10-15 persen, Amelia sendiri juga menjadi Caleg PPRN dari Jawa Tengah.
Tetapi Partai Peduli Rakyat Nasional tidak lolos parliamentary threshold karena hanya menyabet 1,21 persen suara pada Pemilu 2009.
Berkoalisi dengan 19 anggota Dewan Pengarah yang merupakan pemimpin partai-partai (MS Kaban, Meutia Hatta, Ruyandi Hutasoit, Roy BB Janis, Eko Suryo Santjojo, Imam Addaruqutni, Daniel Hutapea, R Hartono, Syahrir MS, Bursah Zarnubi, Amelia Yani, Nurmala Kartini Sjahrir, Thamrin Simanjuntak, Dedi Sjahrir Panigoro, Eros Djarot, Japto Soerjosoemarno, Roy Rening, Budiyanto Darmastono dan Oesman Sapta Odang), Amelia Ahmad Yani mencalonkan SBY-Boediono.
Pada Jumat 20 Mei 2011 Amelia bertemu Tommy Soeharto melakukan konsiliasi partai yang menghasilkan kesepakatan bahwa mereka beraliansi menghadapi pemilu 2014.
Partai Nasional Republik pun berdiri dan telah terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM untuk turut pemilu 2014 dimana Amelia masuk dalam tim formatur.
Berdasarkan surat keterangan Kantor Notaris Nia Kurniasih, SH, No 6/KT-VI/2011 tanggal 9 Juni 2011 dengan akta No 01 tanggal 1 Juni 2011 telah didirikan Akta Pendirian Partai Politik, Partai Nasional Republik (PNR) yang berkedudukan di Jakarta Pusat dengan susunan pengurus adalah Amelia Jenderal Achmad Yani mantan Ketua Umum PPRN, Neneng A Tuty, SH sebagai Sekretaris Jenderal, Drs Hendra Gunawan sebagai Bendahara Umum, sedangkan sebagai Dewan Pembina adalah H Hutomo Mandala Putra.
Pada tanggal yang sama Amelia Ahmad Yani menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri sebagai Ketua Umum Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), dibuat dengan kop surat PPRN Dewan Pimpinan Pusat dengan ditandatangani diatas meterai Rp 6.000, tetapi pada tanggal 13 Juni 2011 surat tersebut dicabut dan Amelia Ahmad Yani kembali ke Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN).
Dalam munaslub itu juga diputuskan nama PPRN diubah menjadi Partai Nasional Pembanguan (PNP).
Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Amelia Yani Putri Achmad Yani Masih Trauma Atas Peristiwa G30S, 20 Tahun Menyepi di Desa, Ini Profil