Penampakan Kalimantan dari Satelit Nasa: Selimut Kabut Asap karena Karhutla yang Diprediksi Awet hingga Oktober

Ade S

Penulis

Di Kalimantan, pembakaran tersebut disinyalir bertujuan untuk membuka lahan penanaman kelapa sawit dan pulp akasia.

Intisari-Online.com - Hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatra diketahui dilanda kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada September 2019.

Karhutla yang terjadi ini menyebabkan kabut asap berkepanjangan yang menyelimuti langit kedua pulau tersebut.

Beberapa hari lalu, The Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua NASA menangkap gambar langit Kalimantan pada 14-17 September 2019.

Dalam citra satelit yang ditangkap NASA pada earthobservatory.nasa.gov, tampak asap menyelubungi pulau terbesar di Indonesia itu.

Baca Juga: Susah Payah Kuasai Senapan Bolt-action, Prajurit Gurkha Ini Menahan 200 Tentara Jepang Hanya dengan Satu Tangan

Kabut asap tersebut telah memicu peringatan terhadap kualitas udara maupun kesehatan di Indonesia dan negara tetangga.

Satelit NASA juga mendeteksi titik-titik karhutla di Kalimantan.

Berdasarkan rekaman NASA, karhutla telah terdeteksi sepanjang Agustus 2019.

Namun, jumlah dan intensitas kebakaran meningkat pada minggu pertama September 2019.

Baca Juga: Saat Ratu Sunandha Kumariratana dan Putrinya Tewas Tenggelam, Para Pelayannya Hanya Berdiri Menonton Tanpa Menolongnya

Karhutla diprediksi masih berlanjut hingga Oktober 2019.

Bencana alam buatan ini diduga dikarenakan petani membakar puing-puing pertanian dan penebangan untuk memberi jalan bagi tanaman dan ternak.

Di Kalimantan, pembakaran tersebut disinyalir bertujuan untuk membuka lahan penanaman kelapa sawit dan pulp akasia.

Baca Juga: Dikira Hanya Pilek dan Batuk Biasa, Ternyata Bocah Ini Idap Penyakit Mematikan, Peringatan Buat Orangtua untuk Mengenali Gejala-gejala Awalnya

The Operasional Tanah Imager (OLI) di Landsat 8 merekam gambar yang menunjukkan kebakaran di beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan Selatan.

Pengamatan gelombang pendek-inframerah (pita 7-6-2) telah ditindih pada gambar warna alami (pita 4-3-2) untuk menyorot lokasi kebakaran aktif.

Sementara itu, peta di bawah ini menunjukkan data karbon organik dari 17 September 2019.

Peta diperoleh dari model GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengasimilasi informasi dari satelit, pesawat, dan sistem pengamatan berbasis darat.

Baca Juga: Kunjungi Medan, Menteri Susi Mengaku Selalu Bawa Pulang Minuman Keras Khas Medan Ini, Jumlahnya 'Enggak Nanggung'

GEOS-FP berfungsi untuk mengamati aerosol (seperti asap dan kabut) dan kebakaran.

GEOS-FP juga mencerna data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk diproyeksikan dalam bentuk peta.

Berdasarkan tangkapan GEOS-FP, asap relatif tetap menyelubungi langit Kalimantan dengan sumber api yang terlihat di Kalimantan dan Sumatera.

Berdasarkan amatan International Forestry Research’s Borneo Atlas, banyak kebakaran terjadi di atau dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.

Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan.

Baca Juga: Tanpa Biaya, Kini Peserta BPJS Kesehatan Bisa Naik Kelas Secara Gratis, Ini Syaratnya

Lantas, kebakaran tersebut awalnya terjadi di bawah permukaan tanah selama berbulan-bulan hingga musim hujan tiba.

Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus.

Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial menyebabkan global warming.

Baca Juga: 'Yang Beli Polisi-polisi yang Jaga,' Rezeki Pedagang Asongan di Balik Riuh Demonstran di Gedung KPK

Sementara itu, campuran partikel halus memiliki efek kesehatan negatif.

Melihat kabut asap dan karhutla di Indonesia, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies, Robert Field, telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.

“Kebakaran benar-benar menjadi pusat masalah sekarang. Ini mengingatkan kita pada 2015, meskipun penumpukan asap yang berlanjut selama beberapa minggu karena hujan pada pertengahan Agustus,” kata Field, dikutip dari earthobservatory.nasa.gov.

Field juga mengemukakan, karhutla yang terjadi di Indonesia kali ini mengingatkan pada dua kebakaran besar terakhir lainnya di Tanah Air, yakni pada 1997 dan 2015.

Baca Juga: Pasang Tarif Hanya Rp10 Ribu untuk Setiap Pasien, Dokter Mangku Malah Sempat Gratiskan Biaya Berobat Sebelum Ditipu Pasien

Kala itu, El Nino menyebabkan kekeringan yang berujung pada kebakaran.

Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kekeringan tahun ini.

Baca Juga: Tanpa Biaya, Kini Peserta BPJS Kesehatan Bisa Naik Kelas Secara Gratis, Ini Syaratnya

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Begini Penampakan Kalimantan dari Satelit NASA saat Diselimuti Kabut Asap dan Karhutla

Artikel Terkait