Find Us On Social Media :

Cerita Warga yang Berebut Air, Antri dari Pagi Sampai Pagi hingga Hampir Baku Pukul, Bahkan Ada yang Tunggu 3 Minggu Baru Dapat Giliran

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 10 September 2019 | 10:00 WIB

Para petani Desa Bone dan Desa Reroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT

Intisari-Online.com - Tak hanya mengalami krisis air minum bersih, untuk mengairi lahan pertanian pun warga sangatlah kesusahan.

Begitulah yang dialami petani di Desa Done dan Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT.

Padi dan jagung yang sudah ditanam bulan sebelumnya diketahui terancam gagal panen karena ketiadaan air.

Airnya ada, tetapi debitnya sangat kecil untuk mengairi sawah yang jumlahnya hingga ratusan hektar.

Baca Juga: Studi: Orang yang Sering Makan Ayam, Lebih Tinggi Berisiko Kena Kanker, Ini Alasannya

Pada Senin (9/9/2019), Kompas.com pun menemui para petani di 2 desa, tepat di lahan persawahan yang mereka garap.

Tiba di lokasi, beberapa para petani Desa Done sedang asyik duduk sambil ngobrol.

Setelah ditanya, ternyata mereka duduk itu menunggu giliran air untuk mengairi padi, jagung, dan kacang yang sudah ditanam.

"Kami duduk ini lagi tunggu giliran air untuk alir ke sawah yang sudah ditanam padi dan jagung Pak.

Kami tunggu ini untuk antri. Dari pagi sampai pagi juga kami tetap di sini. Malam kami tidur di sini menunggu jadwal air," ungkap Alfridus, salah seorang petani Desa Done kepada Kompas.com, Senin (9/9/2019).

"Kami juga di sini perang mulut sampai mau baku pukul gara-gara rebut air ini.

Kalau tidak begitu kan kasihan padi, jagung, dan kacang yang sudah ditanam.

Hampir mau berkelahi terus setiap hari. Hanya selalu saja ada yang mengalah," sambung Alfridus.

Ia mengungkapkan, para petani menerapkan sistem giliran itu disebabkan debit air dari bendungan sudah sangat sedikit.

Ia menuturkan, saat awal proses tanam, pasukan air dari bendungan masih besar.

Baca Juga: Kisah Suku Para Pemburu 'Kepala Manusia' di Kalimantan, Beginilah Alasan Mereka Memburu Kepala Manusia

 

Namun, 3 bulan terakhir debit air kali semakin berkurang. Bahkan kali nyaris kering.

"Sekarang tanah sawah sudah mulai kering. Padi, jagung, dan kacang banyak yang sudah kering dan mati. Banyak pemilik yang sudah menyerah. Mereka lepas saja."

"Itu karena sudah tidak ada harapan lagi tanaman mau hidup. Kami yang bertahan ini supaya ada hasil sedikit."

"Mungkin untuk kembali modal awal dan untuk makan tahun ini tidak cukup," tutur Alfridus.

Ia melanjutkan, selain debit air yang sangat kecil, faktor yang membuat pasokan air berkurang masuk ke saluran irigasi disebabkan pintu bendungan yang sudah lama rusak.

"Dua pintu penyangga air lantainya sudah terkikis dan berlubang. Jadinya air banyak yang merembes melalui lubang lantai bendungan."

"Rusaknya sudah lama tetapi belum ada perbaikan dari pemerintah. Untuk menutupi lubang, kami terpaksa sumbat pakai karung berisi pasir."

"Tetapi, usaha itu tetap tidak bisa airnya tetap bocor. Jadinya yang alir ke saluran irigasi itu sedikit," ungkap Alfridus.

Ia menambahkan, selain lantai bendungan yang sudah rusak, satu pintu untuk pengairan lahan sawah Desa Reroroja sudah tidak bisa dibuka.

Saat ini, saluran air menuju lahan sawah Desa Reroroja sudah kering karena pintu untuk aliran air sudah tidak bisa dibuka.

"Pintunya sudah rusak. Lahan sawah mereka di Desa Reroroja sudah kering. Air sudah tidak bisa mengalir ke sana lagi," tambahnya.

Ia mengaku, para petani dari 2 desa itu sudah melaporkan kerusakan bendungan ke dinas PU dan Pertanian Kabupaten Sikka.

Namun, hingga saat ini belum ada respon untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

"Untuk ambil air yang bocor itu kami pakai mesin pengisap air. Kami petani di sini patungan beli solar untuk isap air dari kali."

"Pipa-pipa juga kami beli untuk sambung dari kali masuk ke irigasi," tutur Alfridus.

Baca Juga: Arkeolog Temukan 'Ponsel' Berusia 2.100 Tahun di Kuburan Wanita di Rusia, Begini Wujudnya

 

 

Ia berharap, Pemerintah Kabupaten Sikka atau pun provinsi NTT agar segera memperbaiki pintu bendungan yang rusak.

Ia juga meminta kepada pemerintah agar mengeruk pasir dan batu yang memenuhi permukaan bendungan karena mempersempit penampungan air di bendungan.

"Sudah lama sekali rusaknya. Kami sengsara sekali setiap tahun harus isi pasir dalam karung untuk tutup lubang."

"Tolong sampaikan keluhan kami petani di sini agar pemerintah buka mata," ungkapnya penuh harap."

"Kami di sini termasuk penyumbang PAD terbesar di Sikka ini. Kami di sini 1 lahan bayar Rp 500 ribu ke pemerintah."

"Artinya kami sudah memberikan kontribusi untuk daerah, pemerintah mesti peduli dengan nasib para petani di sini," sambungnya.

Pantauan Kompas.com, di lahan sawah tepat di Desa Done dan Desa Reroroja, sudah mengering.

Tanah sawah sudah mulai retak. Akibatnya padi dan jagung yang sudah ditanam sudah mulai kering.

Saluran irigasi dari bendungan menuju area persawahan sudah mengering.

Bisa dihitung jari lahan persawahan yang terjangkau air. Itu pun mereka harus antri seharian penuh.

Bahkan ada yang menunggu sampai 3 minggu baru dapat giliran air untuk mengairi padi, jagung, dan kacang yang sudah ditanam.

Baca Juga: Misteri Berabad-abad Akhirnya Terpecahkan? Ilmuwan Ungkap Monster Loch Ness: 'Bukan Tidak Mungkin Belut Tumbuh Sepanjang 4 Meter'

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Warga Berebut Air, Antri dari Pagi Sampai Pagi hingga Hampir Baku Pukul"