Seperti Apakah Hukuman Kebiri Kimia yang Dijatuhkan Terhadap Pemuda Pelaku Kejahatan Seksual pada 9 Anak di Mojokerto?

Tatik Ariyani

Penulis

Seputar hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan pada seorang pemuda pelaku kekerasan seksual pada 9 anak di Mojokerto.

Intisari-Online.com -Hukuman kebiri kimia kembali jadi topik hangat setelah pelaku kejahatan seksual dikenakan vonis hukuman kebiri kimia.

Vonis hukuman kebiri kimia tersebut menjadi kali pertama dari sekian kasus kejahatan seksual. khususnya kasus yang diajukan ke pengadilan.

Melansir Kompas.com, Minggu (25/8/2019), vonis hukuman kebiri kimia dijatuhkan pada Aris, pemuda berusia 20 tahun asal Mojokerto, Jawa Timur, setelah terbukti melakukan pemerkosaan terhadap 9 anak.

Selain hukuman kebiri kimia, Aris dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Baca Juga: Miris, Gadis 10 Tahun Dirudapaksa Saat Menonton Kartun Hingga Hamil, Janin Hasil Aborsi Ungkap Identitas Pelaku

Hukuman kebiri kimia diakomodasi setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu kebiri ditandatangani Presiden pada Mei 2016, dan disahkan DPR menjadi UU pada Oktober 2016.

Selain mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, perppu ini juga memuat ancaman hukuman mati bagi pelaku.

Seperti apa kebiri kimia?

Secara umum, ada dua teknik kebiri. Pertama, kebiri fisik, dan kedua, kebiri kimiawi.

Kebiri fisik dilakukan dengan cara melakukan amputasi pada organ seks eksternal pemerkosa.

Hal ini akan membuat yang bersangkutan berkurang hormon testosteronnya sehingga mengurangi dorongan seksual.

Sementara, kebiri kimia atau kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang.

Baca Juga: Remaja Loncat dari JPO Karena Tak Tahan Diperkosa dan Dicekoki Obat Terlarang: Catat, Ini Efek Penggunaan Obat Terlarang!

Tujuannya, mengurangi produksi hormon testosteron. Efek akhirnya sama seperti kebiri fisik.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Wimpie Pangkahila menyebutkan, kebiri kimia asalnya dari kata obat yang bersifat anti hormon testosteron.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com mengutip Harian Kompas, 14 Mei 2016, melalui obat ini, pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksual sehingga tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukannya.

Meski demikian, dorongan seksual ini sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron.

Ada faktor lain yang mendorongnya, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan, dan faktor psikologis soal fungsi seksual.

Oleh karena itu, meski diberikan obat anti testosteron, keinginan melakukan hubungan seksual belum tentu akan hilang sama sekali.

"Testosteron adalah hormon dalam tubuh kita yang antara lain berfungsi pada sekualitas. Pada pria hormon ini bisa membangkitkan libido. Jadi kalau hormonnya dikurangi, maka gairah seks akan berkurang," ujar Wimpie, seperti diberitakan Kompas.com, 10 Juni 2016.

Ia memaparkan, pemberian obat antitestosteron menimbulkan efek samping antara lain kekuatan otot menurun, osteoporosis, anemia, lemak meningkat, dan penurunan fungsi kognitif.

Dari sejumlah efek samping di atas bisa memunculkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

Baca Juga: Muak Diperlakukan Sebagai Tersangka oleh Polisi, Korban Perkosaan Ini Nekat Bakar Dirinya Sendiri di Kantor Polisi

Kebiri kimiawi juga bisa membuat pria mengalami infertilitas atau ketidaksuburan.

Pria yang diberikan obat antiandrogen berpotensi mengalami kemandulan karena kemungkinan tidak memiliki sel spermatozoa.

Efek dari obat antitestosteron juga bersifat sementara. Gairah seksual bisa kembali muncul jika pemberian obat tersebut dihentikan.

Pro kontra hukuman kebiri

Saat masih menjadi wacana, hingga keluarnya Perppu Kebiri dan disahkan DPR menjadi UU, hukuman kebiri kimia menimbulkan pro dan kontra.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan sikap menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia.

Pada Juli 2016, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan, kebiri kimiawi sebaiknya dilakukan dalam perspektif rehabilitasi.

IDI berpandangan, jika tujuannya rehabilitasi, hasilnya akan lebih efektif.

Kebiri kimia dianggap belum tentu menyembuhkan predator seksual dari kelainan yang dideritanya.

"Dan jika kebiri kimiawi dilakukan dalam perspektif rehabilitasi, kami dari IDI dengan sukarela jadi eksekutornya," kata Daeng, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 25 Juli 2016.

Baca Juga: Kisah Tragis Junko Furuta, Gadis Paling Cantik yang Disiksa dan Diperkosa Secara Brutal Karena Menolak Cinta Antek Yakuza

IDI berpendapat, menjadikan kebiri sebagai hukuman berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku.

Pada jumpa pers, 9 Juni 2016, Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

"Kami tidak menentang Perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter," ujar Marsis kala itu.

Ia menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.

Akan tetapi, menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor. Penolakan juga datang dari sejumlah pihak, di antaranya aktivis HAM yang menganggap hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia.

Sementara itu, pemerintah menyatakan, penerapan hukuman kebiri tidak akan dilakukan terhadap pelaku yang masih anak-anak, tetapi yang sudah dewasa.

Mekanisme pemberian hukuman kebiri dilakukan melalui suntikan kimia bersamaan dengan proses rehabilitasi.

Baca Juga: Mengaku Aktivis AIDS, Seorang Miliarder Rekrut Banyak Gadis di Bawah Umur dan Dieksploitasi Secara Seksual

Pada 26 Mei 2016, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko, mengatakan, proses rehabilitasi untuk menjaga pelaku tidak mengalami efek negatif lain selain penurunan libido.

Suntikan kimia juga tidak bersifat permanen dan efeknya hanya muncul selama tiga bulan.

Pelaku akan mendapatkan suntikan kimia secara berkala melalui pengawasan ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.(AhmadNaufal Dazulfaroh)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judulSeperti Apa Kebiri Kimia?

Artikel Terkait