Penulis
Intisari-Online.com – Sukarno menjadi Presiden Rl pertama di usia muda. Tapi dia juga kerap berseberangan dengan para pemuda.
Betulkah tak ada sinergi antara perjuangan Sukarno dan para pemuda?
Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, menjawabnya dalam sebuah tulisan Sukarno Versus Kaum Muda, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2009
Sukarno selaku Ketua PNI mengirim surat berisi ucapan selamat yang dibacakan dalam pembukaan Kongres Pemuda II bersama surat Tan Malaka dan Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Namun ia tidak hadir untuk berpidato. Ada beberapa alasan. Pertama, yang dikemukakan oleh Abu Hanifah sebagaimana dikutip oleh Lambert Giebels {Soekarno, Biografi 1901- 1950).
Menurut Hanifah, Sukarno pernah diundang untuk berbicara di depan anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang antara lain dipimpin Soegondo Djojopoespito.
Ketika itu para mahasiswa sedang gandrung pemikiran Gandhi yang memboikot kain tenun buatan Barat dan menganjurkan pakaian sederhana buatan dalam negeri.
Dalam pertemuan di sebuah gedung di Jin. Kenari, Batavia, terkesan Sukarno seakan baru datang dari "suatu peragaan busana atau resepsi orang elit" sehingga dicemooh mahasiswa.
Informasi di atas perlu dipertanyakan karena buku Giebels sendiri menampilkan banyak kekeliruan fakta historis.
Lagi pula ia mengutip Abu Hanifah yang baru menerbitkan tulisan tahun 1972 (Tales of a Revolution). Abu Hanifah yang pernah tinggal di asrama mahasiswa Kramat Raya 106 itu kemudian menjadi pengurus Masyumi yang berseberangan dengan Bung Kamo.
Kedua, alasan yang lebih masuk akal adalah kesibukan Sukarno dalam mengembangkan partainya. Lagi pula dalam kongres itu sudah berperan tokoh PNI seperti Mr. Sunario dan Mr. Sartono.
Baca Juga: Beginilah Tulisan Tangan Bung Karno yang Luar Biasa, Isaratkan Masa Depan dengan Percaya Diri
Sukarno tampil di mana-mana. Rakyat terpesona dengan gaya berpidatonya yang penuh retorika.
"Matahari tidak terbit karena ayam berkokok. Tetapi ayam jantan berkokok karena Matahari terbit," ujar Sukarno.
"Penjajahan ialah upaya mengolah tanah, mengolah harta-harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk untuk keuntungan keperluan ekonomi dari bangsa yang menjajah."
Pada Oktober 1928 Sukarno berpidato di Semarang. Ketika sampai pada kalimat 'antitesis yang tidak mungkin diperdamaikan', ia distop berbicara oleh polisi. Peristiwa ini menghebohkan publik.
Padahal, yang dimaksudkan Sukarno sebagai antitesis itu adalah "perbedaan kepentingan antara rakyat yang dijajah dengan orang-orang kulit putih yang menjajah mereka."
Sebelumnya, dalam artikel berjudul "Sukamoisme" pada Bintang Timur 19 Juli 1928, di laporkan trilogi yang terus-menerus diulang dalam pidato-pidato Sukarno, yakni suatu kesadaran nasional harus dibangkitkan agar bisa timbul suatu kemauan nasional yang pada akhirnya menghasilkan perbuatan nasional.
Jadi, sebetulnya jalur perjuangan para pemuda dengan tokoh partai tidak berseberangan. Bahkan Soegondo Djojopoespito selain menimba pengalaman dari panitia Kongres Pemuda I tahun 1926 juga meminta Mr. Sunario dan Mr. Sartono yang baru pulang dari Belanda sebagai penasehat.
Kehadiran Sunario ternyata cukup krusial. Setelah perencanaan dilakukan secara matang, ternyata pada saat terakhir panitia teradang oleh perizinan dari polisi Belanda. Kongres itu nyaris batal.
Pihak kepolisian menolak karena sebelum kongres direncanakan arak-arakan pandu yang melibatkan banyak sekali pemuda.
Sebetulnya ini hanya alasan untuk memboikot kongres tersebut. Menyadari bahwa polisi tidak bisa lagi diajak berunding, maka diutuslah Mr. Sunario (bersama Arnold Manuhutu) menemui pembesar Hindia Belanda yang dapat mengubah keputusan polisi, yakni K de Jonge.
Sunario memberikan tawaran dengan setuju pawai itu dilarang tetapi kongres tetap dilaksanakan.
Perundingan itu tidak selesai dalam satu hari. Hari berikutnya selama berjam-jam Sunario kembali membujuk pejabat tinggi Belanda itu yang akhirnya memerintahkan polisi memberi izin.
Dengan syarat kongres itu tidak boleh mengeritik kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghasut dan melawan pemerintah Hindia elanda. Kongres hari pertama tanggal 27 Oktober 1928 sempat dihentikan oleh polisi dua kali.
Pertama, ketika seorang pembicara menyebut istilah "kemerdekaan" dan kedua, tatkala terdengar ajakan supaya putra-putri bekerja lebih keras agar tanah air Indonesia dapat menjadi negara seperti Inggris dan Jepang.
Kerja sama senior-junior
Ratusan orang menghadiri kongres, sementara di luar polisi bersenjata berjaga-jaga. Jadi acara itu terselenggara tidak dengan mudah tetapi berkat kerja sama dan keberanian para pemuda yang didukung kemampuan melobi dari tokoh yang lebih senior seperti Mr. Sunario.
Baca Juga: Bukan Fatmawati, Dipangkuan Wanita Inilah Bung Karno Menghembuskan Napas Terakhirnya
Dengan Sumpah Pemuda, aktivis organisasi berlabel etnis dan daerah berikrar bersatu. Etnonasionalisme telah berubah menjadi paham kebangsaan.
Ada seorang sosiolog yang berpendapat bahwa tanggal 28 Oktober 1928 telah ditiupkan roh bangsa Indonesia. Roh ini memasuki tubuh bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 ketika kemerdekaan diproklamasikan Sukarno-Hatta.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perjuangan para pemuda mengubah etnonasionalisme menjadi nasionalisme bersinergi dengan gerakan politik kepartaian yang dilakukan oleh pemimpin Indonesia yang lebih senior.
Kadang kala terdapat perbedaan pandangan, namun pada hakikatnya, para pemuda itu melakukan dobrakan terhadap kebekuan zaman.
Baca Juga: Istri Bung Karno Naoko Nemoto Tetap Cantik dan Muda di Umur 78, Ini Rahasia Kecantikan 'Abadinya'
Sukarno sendiri menaruh harapan besar kepada para pemuda. Seperti dikatakan sendiri oleh Bung Karno, "Seribu orang tua hanya dapat bermimpi; satu anak muda dapat mengubah dunia."