Dari Keturunan Sulawesi Selatan sampai Alquran Tulis Tangan, Ada Jejak-Jejak Nusantara di Afrika Selatan

T. Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Berbagai ras bangsa asli Afrika Selatan hingga pendatang dari Indonesia berbaur sejak 300 tahun silam di Rainbow Nation ini.

Intisari-Online.com - Unity in Diversity, Bhineka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi tetap satu.

Semboyan bangsa Indonesia ini tampak di kota Afrika Selatan, Johannesburg, Pretoria, dan Cape Town.

Surprising. Sebab, semboyan pada lambang negara ini ǃke e: ǀxarra ǁke artinya juga “Berbeda-beda namun satu”, sama dengan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia!

Tidak saja segi budaya, bahasa dan suku.

Berbagai ras bangsa yang asli Afrika Selatan, pendatang baru dari negara benua Afrika lainnya, Eropa, Indonesia, India, Arab, Srilanka, Malaysia dan China sudah pula berdatangan dan didatangkan (sebagai kuli dan budak) ke Afrika Selatan lebih dari 300 tahun silam.

Mereka kemudian berbaur dan menetap di negeri yang mereka sebut Rainbow Nation, serta pernah terkenal dengan sejarah kelam pemerintah rasis-diskriminatif apartheid-nya hingga akhir tahun 1994.

Baca Juga: Migrasi Orang Jawa ke Suriname: dari Kena Sirep hingga Diimingi Janji Gombal

Negeri pelangi

Disebut Negeri Pelangi, sebagai refleksi dari aneka ragam orang berkulit hitam dan putih (Eropa), berwarna sawo matang dan kuning (dari Asia) berbaur menyatu menjelma menjadi bangsa Afrika Selatan yang hidup rukun multikultural dan toleran.

Selain itu, dalam sehari di bumi yang mereka cintai ini, bisa mengalami cuaca empat musim sekaligus -- ekstrem dingin musim dingin, sejuknya musim semi, panasnya musim kemarau dan indahnya musim gugur.

Warna pelangi lainnya tercermin khususnya di bekas daerah enclave di masa lalu, Bo-Kaap, di lereng bukit Signal Hill tapi kini berada di kawasan pusat kota Cape Town.

Yaitu melalui bangunan-bangunan perumahannya yang dicat warna-warni mencolok seperti kuning jeruk, hijau muda, ungu, pink dan biru langit.

Baca Juga: Mengunjungi Kampung Warna-warni di Malang

Dengan latar belakang “The World New 7 Wonders of Nature” Table Mountain -- yang kadang seperti diselimuti awan yang “mengalir kebawah”, perumahan warna-warni tersebut menjadi tambah indah di pandang.

Perumahan warna-warni Bo-Kaap ini sekilas tampak seperti Kampung Warna-Warni Jodipan dan Kampung Tridi (3D) di bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas kota Malang, Jawa Timur.

Bahkan sebenarnya kampung ini lebih “ngejreng”.

Artinya, seperti juga Bo-Kaap-nya Cape Town, tentu Kampung Jodipan dan Tridi dapat menjadi daya tarik wisatawan.

“Inilah daerah yang paling colourful di Cape Town, ujar Gerald Matthews yang akrab dipanggil Jerry, pemandu tour OTe (Open Trip & explorer) Waka Waka South Africa.

Bagaimana daerah ini didatangi leluhur orang Indonesia?

Baca Juga: Lebih Tua dari yang Diperkirakan Sebelumnya, Migrasi Manusia Modern dari Afrika ke Seluruh Dunia Terjadi Sekitar 130 Ribu Tahun yang Lalu

Muslim dari Indonesia

Jerry bercerita, Bo-Kaap dulu dikenal sebagai Malay Quarter, permukiman bagi berbagai keturunan komunitas Muslim.

Keturunan ini di antaranya berasal dari Indonesia yang datang lebih dari tiga ratus tahun lalu.

Mereka menyebut dirinya sebagai Cape Muslims.

Tidak pasti kapan penghuninya mulai mengecat rumah mereka berwarna-warni.

Namun yang jelas, setelah pemerintahan apartheid berakhir dan pemerintah kota mengizinkan mereka membeli rumah, mulailah bermunculan warna-wani tersebut.

Bisa jadi, itulah ekspresi kebebasan.

Selain salah satu bagian dari tradisi menyambut Idul Fitri, sebagian kaum Muslim memperindah rumahnya.

Sebelum adanya dua peristiwa itu, semua rumah di Cape Town dicat warna putih.

Baca Juga: Mengapa Sebagian Besar Pesawat Hampir Selalu Dicat Putih? Inilah 4 Alasannya

Menulis alquran di penjara

Panggilan azan dari tujuh masjid—salah satunya Masjid Auwal, mesjid pertama di Afrika Selatan sekaligus tertua di Bo-Kaap—setiap hari berkumandang bagi 10.000 warganya yang 90 persen Muslim dan bertetangga dengan daerah pusat perdagangan Cape Town Central Business District.

Meski warga Cape Town saat ini lebih banyak berbahasa Inggris katimbang Afrikaans, ucapan “Assalammualaikum” masih kental terdengar.

Kadang ada juga kata “terima kasih” bahasa Indonesia yang terdengar di Bo-Kaap.

Dari masjid inilah, tradisi Cape Muslim dan bahasa Arab-Afrikaan pertama kali diperkenalkan serta diajarkan sebagai simbol pengakuan agama Islam di negara ini dan di masa silam pembebasan para budak menunaikan salat.

Dalam Masjid Auwal ini pula, penulis melihat sebuah kitab suci Alquran dipajang, hasil tulisan tangan Abdullah ibn Qadi Abu Al-Salaam.

Pria yang akrab dipanggil Tuan Guru ini adalah pendiri sekaligus Imam pertama di masjid yang dibangun pada 1794 ini.

Bagaimana kisahnya hingga ia menulis alquran di penjara?

Baca Juga: Tak Hanya Penghafal Alquran, Pemuda Tuna Netra Ini Juga Seorang Guru Musik Jempolan

Tuan Guru adalah salah seorang tahanan politik kolonialisme Belanda (VOC) asal Tidore pada 1780.

Sewaktu mendekam 12 tahun dalam tahanan di Pulau Robben, dia menulis kitab suci Alquran tersebut.

Tuan Guru juga menjadikan masjid ini sebagai madrasah untuk mendidik agama Islam kepada anak-anak dan orang dewasa.

Menurut catatan sejarah, agama Islam masuk ke Afrika Selatan pada 1652, tatkala para kuli dan budak didatangkan dari Asia, mayoritas dari Oost-Indie (Indonesia sekarang).

Namun baru 1694 peletak dasar agama Islam ditanamkan di bumi Afrika Selatan oleh Syek Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Batani.

Pejuang asal Gowa, Sulawesi Selatan itu diasingkan penguasa VOC ke Pulau Robben di lepas pantai Cape Town sebagai tahanan politik gelombang pertama dari Bumi Nusantara karena melawan kolonialisme Belanda.

Syekh Yusuf kemudian dikenang sebagai ulama peletak dasar agama Islam di bumi Afrika Selatan, khususnya yang dikenal dalam sejarah kota Cape Town.

Baca Juga: Ketika Para Budak Naik Tahta: Tak Hanya Jadi Penguasa Kesultanan Islam, Mereka Juga Dirikan Bangunan-bangunan Megah

Menjadi muslim di penjara

Di pulau penjara Robben—Nelson Mandela kelak kemudian pernah ditahan di sini juga—digelar acara keagamaan mingguan berbagai agama yang diselenggarakan oleh para tahanan.

Rupanya banyak yang tertarik dengan dakwah Syekh Yusuf.

Bahkan setelah acara ini berlangsung tiga tahun, ada 24 narapidana mendadak menyatakan diri memeluk agama Islam.

Akibatnya, acara mingguan ini dihentikan VOC, namun rupanya penyebaran agama Islam tak terbendung lagi.

Syekh Yusuf bersama keluarga dan pengikutnya tiba di Cape Town 7 Juli 1694.

Sebelumnya, hampir satu dekade ia sempat diasingkan di Srilanka yakni sejak 12 September 1684.

Ulama ini menghabiskan sisa lima tahun hidupnya di Cape Town dan meninggal pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun.

Uniknya, selain ia, banyak berdatangan keturunan berdarah Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Sungguh Gigih, Keturunan Korban Holocaust Jerman di Namibia Terus Menuntut Keadilan

Banyak keturunan Sulawesi Selatan

Salah satu kunjungan sekaligus ziarah rombongan tour OTe Waka Waka South Afrika adalah komplek pemakaman Syekh Yusuf di Desa Macassar, di kawasan lereng bukit kecil Faure, 40 km dari Cape Town.

Warga desa setempat memang banyak keturunan orang Sulawesi Selatan.

Untuk menghormati ulama Syekh Yusuf, Nelson Mandela bahkan menyebut Syekh Yusuf sebagai “Salah Seorang Putra Afrika Terbaik”.

Kaapstad atau yang kini lebih dikenal sebagai Cape Town, didirikan Belanda (VOC) sebagai kota persinggahan bagi kapal-kapal-nya yang berlayar Eropa (Belanda) - Oost-Indie (Indonesia sekarang) ketika harus mengisi bahan perbekalan.

Sejak Inggris mengambil alih kekuasaan atas Cape Town dari Belanda tahun 1795, warga bebas memeluk agama yang dipilihnya.

Selain itu, mereka juga menghapuskan perdagangan budak, yang kemudian melenyapkan perbudakan sama sekali di Afrika Selatan. (Dudi Sudibyo, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Angkasa, Kompas Gramedia)

Artikel ini telah tayang di rubrik LangLang Majalah Intisari dengan judul “Ada Jejak-jejak Nusantara di Selatan Afrika”.

Artikel Terkait