Penulis
Intisari-Online.com – Pada hari ini, Selasa tanggal 21 Mei 1998 bertepatan dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Kita sering menyebut kejadian ini dengan Reformasi 1998.
Seperti yang kita tahu, Soeharto pernah memimpin Indonesia selama 32 tahun lamanya.
Dari berbagai kisahnya selama tiga dekade memimpin Indonesia, ada satu kisah yang selalu terpatri di hati masyarakat Indonesia.
Baca Juga: 21 Mei 1998, Ketika Soeharto Dipaksa Mundur oleh Mahasiswa Setelah 32 Tahun Berkuasa…
Yaitu kisah cinta Soeharto dengan istrinya, Tien Soeharto atau yang bernama lengkap Siti Hartinah.
Bahkan Tien Soeharto disebut-sebut sebagai satu-satunya orang di dunia ini yang bisa membuat Soeharto minder.
Begini kisah cinta Soeharto dan Siti Hartinah.
Kita semua tahu bahwa Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto dikenal memiliki pembawaan yang tenang dan penuh wibawa.
Ketenangannya membuat banyak pejabat segan akan sosok mantan Panglima Kostrad itu.
Namun, ada satu momen yang membuat Soeharto minder dan gamang akan dirinya sendiri.
Itulah detik-detik menjelang Soeharto muda meminang seorang gadis bernama Siti Hartinah atau yang biasa disapa "Tien".
Soeharto saat itu baru berusia 26 tahun dan memiliki karier di militer yang cemerlang. Bibinya, Ibu Prawiro gelisah karena Soeharto belum juga memiliki istri.
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 itu pun langsung menjawab bahwa dia masih ingin melakukan perjuangan.
Sang bibi protes. Menurut dia, pernikahan tidak perlu terhalang oleh perjuangan. Ibu Prawiro lalu menyebutkan sebuah nama.
"Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?" tanya sang bibi seperti dikisahkan pada buku "Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto".
Baca Juga: Reformasi 21 Mei 1998: Kisah Soeharto yang Ditinggal Sendirian oleh Orang-orang Kepercayaannya
Soeharto pun mengiyakan.
"Tetapi bagaimana bisa? Apa dia akan mau? Apa orangtuanya memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran," jawab Soeharto ragu-ragu.
Namun, keraguan itu langsung ditepis Ibu Prawiro dan menyatakan dia mengenal keluarga Hartinah dan akan menjodohkan Soeharto dengan putri dari RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo itu.
Meski sudah mengenal Hartinah sejak SMP, keraguan Soeharto masih juga belum sirna.
Dia gamang karena takut lamarannya nanti ditolak lantaran dirinya yang hanya masyarakat biasa sementara Hartini berasal dari keluarga bangsawan.
Semua keraguan Soeharto akhirnya terjawab.
Ternyata, orangtua Hartinah tak memandang latar belakang dan langsung menyetujui lamaran dari seorang perwira muda ini.
Dari banyak lamaran yang diajukan kepada Hartinah, rupanya hanya Soeharto yang memikat hati perempuan kelahiran Surakarta, 23 Agustus 1923 itu.
(Pernikahan pun dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo, sore hari. Pernikahan disaksikan keluarga dan teman-teman Hartinah.
Cukup banyak jumlah tamu dari keluarga Soemoharjono yang datang. Sementara Soeharto hanya datang bersama sepupunya, Sulardi dan kakaknya.
Resepsi dilakuan pada malam harinya, hanya diterangi lampu dan beberapa lilin yang redup.
Malam pertama mereka diwarnai dengan jam malam yang diterapkan karena khawatir adanya serangan Belanda.
Baca Juga: Seperti Ini Rasanya Tinggal di Base Camp Gunung Everest
Tak ada bulan madu bagi mereka karena tiga hari setelah pernikahan, Soeharto harus kembali ke Yogyakarta untuk berdinas.
Mereka pun tinggal di Jalan Merbabu Nomor 2.
Seminggu setelah itu, Soeharto harus meninggalkan sang istri karena ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang.
Tiga bulan lamanya Soeharto meninggalkan istri tercintanya.
Perginya belahan jiwa
Kisah kasih Soeharto dan Ibu Tien terbilang cukup unik. Sebagai istri prajurit, Ibu Tien harus terbiasa hidup mandiri.
Meski jarak kerap memisahkan mereka, kasih Soeharto kepada istrinya begitu besar.
Hal ini terlihat Soeharto tampil membela proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas Ibu Tien.
Ketika itu, pembanggunan TMII banyak diprotes karena dianggap tak bermanfaat dan mubazir.
Setelah sepuh, Soeharto dan Tien sering menghabiskan waktu di tempat itu hingga maut memisahkan mereka.
Pada 28 April 1996, Ibu Tien meninggal dunia.
Soeharto pun larut dalam kesedihan yang dipendamnya sendiri.
Untuk melepas rindu dengan belahan hatinya itu, Soeharto kerap meminta anak-anaknya untuk mengantarnya ke TMII.
Di sana, Soeharto hanya duduk terdiam dan memegang tongkat jalannya.
"Walau bicaranya sudah tidak jelas, tapi saya bisa mengerti isi perkataan beliau.”
“Pak Harto bilang, 'Saya rindu pada Ibu. Dan setiap saya merindukan Ibu, Taman Mini ini yang membuat kerinduan saya terobati'," kata Bambang Sutanto, mantan pimpinan TMII, menirukan ucapan Soeharto.
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Hanya Bu Tien yang Bisa Buat Soeharto Minder")
Baca Juga: BaBe Luncurkan AI Academy, Program Untuk Perkuat Kompetensi Digital para Pelajar di Indonesia