Find Us On Social Media :

Ini Daftar Negara Paling Rapuh di Dunia Tahun 2019, Apakah Indonesia Masuk Peringkat Utama?

By Nieko Octavi Septiana, Sabtu, 18 Mei 2019 | 21:00 WIB

Fragile States Index 2019.

“Tahun ini Yaman mengklaim posisi teratas untuk pertama kalinya sebagai akibat dari perang saudara dan bencana kemanusiaan,” jelas JJ Messner, Direktur Eksekutif Fund for Peace.

“Perhatian terbesar harus diberikan pada perburukan yang cepat selama decade terakhir, da ketidakstabilan regional, serta permainan kekuasaan yang membuat penduduknya sangat menderita,” lanjutnya.

Dikutip dari Big Think, antara kedua negara ini terletak seluruh spektrum stabilitas nasional. Berita baiknya adalah kondisi bagi sebagian besar orang di dunia perlahan membaik, kata JJ Messner, Direktur Eksekutif Fund for Peace. "Untuk semua pers negatif, ada kemajuan signifikan yang terjadi di latar belakang," katanya.

Baca Juga: Ini Dia Warga Negara yang Paling Banyak Belanja Selama Haji dan Umroh, Adakah Indonesia?

Lima negara yang paling rapuh, yang terdiri dari kategori Peringatan Sangat Tinggi, adalah Yaman, Somalia, Sudan Selatan, Suriah, dan Republik Demokratik Kongo. Dalam kategori Peringatan Tinggi adalah Republik Afrika Tengah, Chad, Sudan, dan Afghanistan.

Paling Memburuk

Venezuela dan Brasil terikat untuk gelar Negara yang Paling Memburuk. Politik telah memecah belah kedua negara. Pemilihan Venezuela tahun lalu menambah kesengsaraan ekonomi dan sosial yang sudah berlangsung lama. Skor Brasil telah menurun dalam masing-masing dari enam tahun terakhir karena masalah ekonomi, korupsi dan menurunnya layanan publik telah menelan korban.

Negara lain yang peringkatnya turun tajam dalam daftar 2019 adalah Nikaragua, Inggris, Togo, Kamerun, Polandia, Mali, Yaman, Tanzania, Honduras, dan Amerika Serikat. Libya, Suriah, Mali, Yaman, Venezuela, dan Mozambik adalah negara-negara yang mengalami penurunan tercepat dalam dekade terakhir.

Setiap warga negara Inggris yang khawatir melihat peringkat negara mereka sebagai yang paling buruk keempat akan menemukan bahwa tiga dari 12 indikator yang digunakan untuk menyusun indeks sebagian besar berada di belakang skor rendah: perilaku elit penguasa, divisi sosial dan legitimasi negara.

Penulis menunjukkan pengaruh Brexit sebagai faktor. Tetapi mereka mengatakan bahwa memburuknya skor Inggris jangka panjang mendahului referendum negara itu tentang keanggotaan Uni Eropa.

Bahkan sebelum 2016, para penulis mengatakan Inggris memiliki tren terburuk ketujuh untuk tiga indikator yang sama, dan menyarankan masalah negara itu mengakar dan tidak mungkin diselesaikan dengan meninggalkan Uni Eropa.

Baca Juga: Jalan-jalan Sambil Belajar, 5 Negara Ini Bisa Masuk Bucket List untuk Disambangi Saat Ramadan