Kisah Kaisar Jepang dari Perang Dunia II Hingga Menyebut Dirinya Makhluk Fana

Mentari DP

Penulis

Peran kaisar di Jepang pada era modern ini layak untuk dipertanyakan, dan sebagian besar orang masih menganggapnya bukan sebagai manusia.

Intisari-online.com - Pada saat setelah Perang Dunia II, di Peers School Tokyo, seorang guru Quaker bernama Elizabeth Vinning memberikan nama-nama dengan bahasa inggris pada muridnya.

Mereka di antaranya adalah bangsawan Jepang, "Saya adalah Eric," kenang Masao Oda, mantan murid Vining.

Juga, teman sejawat dan sekamarnya, Akihito yang diberi nama Jimmy, namun Akihito menolak panggilan itu.

"Jadi dia berdiri menolak nama yang diberikan Vining, 'Jimmy', dan mendorong mundur," kenang Oda.

Baca Juga : 3 Calon Kuat Ibu Kota Baru Indonesia dan Fakta Kota Palangkaraya, Kota yang Diinginkan Bung Karno Jadi Ibu Kota Baru

"Aku bukan Jimmy, aku adalah putra mahkota," kata Oda menjelaskan apa yang dikatakan oleh Akihito.

Melansir NPR (1/5/2019), Akihito naik takhta pada 1989, menggantikan ayahnya Kaisar Hirohito yang menyerahkan takhtanya pada putranya.

Hal itu dilakukan, setelah mengakhiri periode pascaperang yang secara resmi dikenal dengan sebutan "Heisei" atau mencapai perdamaian.

Kaisar Akihito lahir setelah Jepang menginvasi Manchuria, China utara, yang merupakan awal dari perannya dalam Perang Dunia II.

Baca Juga : Fakta Memilukan di Balik Seorang Wanita 94 Tahun yang Memegang Baju Tentara Jepang Setiap Menjelang Tidur

Pasukan Jepang bertempur atas nama Kaisar Hirohito dan Putra Mahkotanya Akihiti, diharapkan akan tumbuh menjadi komandan militer tertinggi dinegeri sakura.

"Dia dididik dan dilatih untuk menjadi kuat dan tangguh," kenang Mototsugu Akashi, yang merupakan teman sekelas masa kecil Akihito.

"Kesanku pada Akihito, dia lebih egois daripada baik," terangnya.

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mengubah sikap Akihito menjadi Pasifis, menurut Akashi.

"Waktu itu menghasilkan perasaan kuat, terhadap perang dengan adanya perang yang melibatkan ayahnya sebagai Kaisar," tambahnya.

Pada 1 Januari 1946, Kaisar Hirohito menyatakan diri sebagai makhluh Fana bukan makhluk Ilahi, tahun berikutnya konstitusi pascaperang yang dirancang AS oleh Jepang mengambil kedaulatan kaisar.

Hal itu memberikannya kepada rakyat dan menjadikan raja sebagai boneka tanpa kekuatan politik.

Baca Juga : Momen Dramatis Ketika Tim SWAT Meringkus Pelaku Penembakan di Sebuah Kampus yang Menewaskan 2 Orang dan 4 Lainnya Luka

Peran kaisar di Jepang pada era modern ini layak untuk dipertanyakan, dan sebagian besar orang masih menganggapnya bukan sebagai manusia.

"Bahwa sekarang orang masih menyambut kaisar seperti dewa yang hidup, kaisar dan permaisuri berusaha keras untuk berbicara sebagai manusia," kata Takehsi Hara seorang Ilmuwan Politik dan pakar sistem kekaisaran di Universitas Terbuka Jepang.

Monarki Jepang secara turun temurun telah dimulai sejak 600 SM, demikian tulis BBC

Kaisar Jepang dipandang sebagai dewa tetapi, hal itu ditinggalkan sejak Hirohito dan Akihito menyatakan diri sebagai makhluk fana di akhir Perang Dunia II.

Akihito juga secara resmi melanggar norma-norma sebagai kaisar pada 1991 ketika berlutut untuk berbicara kepada orang-orang yang terkena dampak letusan.

Interaksi keduanya adalah dengan orang-orang penderita penyakit kronis seperti kusta yang terpinggirkan di Jepang, juga merupakan perubahan yang tajam dari tradisi kekaisaran pada masa lalu.

Setelah 30 tahun menjadi Kaisar, Akihito akhirnya melepaskan jabatan itu dan menyerahkannya kepada Naruhito pada (1/5/2019).

Baca Juga : Dengan Diet Sederhana, Pria Ini Turunkan Berat Badannya Hingga 49 Kilogram

Artikel Terkait