Find Us On Social Media :

Cara Memastikan Quick Count Abal-abal, Hanya Butuh Waktu Satu Jam

By T. Tjahjo Widyasmoro, Rabu, 17 April 2019 | 13:59 WIB

Cara memastikan sebuah quick count abal-abal atau tidak. (foto ilustrasi)

Intisari-Online.com - Pada setiap pemilu termasuk di Pemilu 2019 banyak sekali lembaga survei yang mengeluarkan hasil quick count.

Namun, berkaca pada Pilpres 2014, ternyata ada hasil quick count yang berbeda di antara hasil yang dirilis para lembaga survei tersebut.

Pertanyaan pun mengemuka. 

Siapa yang salah atau menyimpang dari lembaga survei/kelompok tersebut?

Baca Juga : Bukan Cuma Tunjukkan Pemenang, Quick Count Juga Bisa Buktikan Kalau KPU Curang, Ini Caranya!

Mana hasil quick count yang “abal-abal” alias penuh rekayasa?  

Pada dasarnya, quick count adalah metode verifikasi hasil pemilu yang bersumber dari penghitungan persentase hasil pemilu di sejumlah TPS yang dijadikan sampel.

Mengingat data asalnya perhitungan TPS secara langsung tentu saja akurasinya lebih tinggi, karena bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden.

Tentu saja kita tidak perlu meragukan hasil quick count, bahkan dari hasilnya kita dapat memperkirakan perolehan suara pemilu secara cepat yang berguna untuk memverifikasi hasil resmi KPU nantinya. 

Baca Juga : Beginilah Rekam Jejak Pemilu di Indonesia Sejak 1955 Hingga Saat Ini

Quick count bahkan mampu mendeteksi dan mengungkapkan penyimpangan serta kecurangan.  

Lalu dari mana datangnya perbedaan hasil?

Setiap lembaga survei memang bisa memiliki metodologi tersendiri, seperti diungkap Mada Sukmajati, pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.

Namun jauh di atas persoalan metodologi, kredibilitas dan etika menjadi hal utama yang harus dipegang oleh penyelenggara quick count.

"Ini penting karena terkait dengan kemampuan menarik kesimpulan. Masyarakat sendiri juga bisa melacak, mana lembaga survei yang bisa dipercaya dan mana yang tidak,” kata Mada seperti dikutip Kompas.com beberapa waktu lalu.

Hasil perhitungan setiap lembaga, seperti dikatakan Titin Sumi, pengajar Jurusan Matematika di Universitas Indonesia, bisa saja berbeda karena masalah pengambilan sampel.

Baca Juga : Gaji Presiden Indonesia Ternyata Tidak Terendah, Ada Pemimpin Negara yang Gajinya Cuma Rp2,5 juta per Bulan

“Ini tidak bisa disalahkan. Namun yang pasti harus proporsional,” kata dia mengingatkan.

Namun bukan tidak mungkin, lanjut Titin, ada kecenderungan lembaga suvei mendapat pesanan dari pihak yang membayar.

“Saat ini banyak lembaga survei yang mengeluarkan hasil tergantung pada siapa yang membayar,” ungkap dia tentang kemungkinan terjadinya kesalahan dalam hasil quick count.  

Adanya kesalahan metodologi, menurut Direktur Cyrus Network, Hasan Nasbi, bisa saja terjadi hingga berakibat pada perbedaan hasil quick count.

"Quick count itu enggak akan bisa mengarang, ada kesalahan gampang terdeteksi," sebut dia kepada Kompas.com.

Menurut Hasan, jika ingin mengetahui kesalahan, auditnya bisa sangat cepat.

Cuma satu jam untuk tahu letak kesalahan atau kemungkinan manipulasi.

Kalau memang benar melakukan quick count, maka menurut Hasan, orang pasti berani buka data. “Kalau takut, berarti ada manipulasi.”

Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) yang mewadahi lembaga-lembaga survei di Indonesia telah menyatakan akan memanggil dua lembaga survei yakni Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia untuk menjelaskan metodologinya.

Dari sanalah kita akan memperoleh jawabannya.

Baca Juga : Inilah Besaran Gaji yang Diterima Seorang Presiden, Wakil Presiden, hingga Menteri