Penulis
Intisari-Online.com - Keterlambatan Menteri Olimpiade Yoshitaka Sakurada selama tiga menit untuk menghadiri rapat parlemen bukan tanpa sanksi.
Keterlambatannya itu kemudian memicu protes selama lima jam dari oposisi dan memicu kemarahan publik.
Tak pelak, hal membuat Sakurada harus meminta maaf secara publik atas keterlambatannya itu.
Yang perlu dicermati adalah ketepatan waktu yang menjadi obsesi orang-orang Jepang.
Baca Juga : 9 Kebiasaan yang Bisa Bikin Gemuk, Salah Satunya Makan dari Piring Besar
Bahkan tahun lalu pada Mei 2018, pihak kereta api harus meminta maaf, bukan karena keterlambatan namun lebih cepat 25 detik lereta berangkat dari stasiun.
Kereta terlambat sangat tidak biasa di Jepang.
Asumsi umum jika ada kereta yang terlambata dalah adanya gempa bumi atau bunuh diri di rel.
Namun karena obsesi waktu, jadwal kereta pun bisa berangkat lebih awal, ya meski hanya 25 detik.
Dalam kasus itu, kereta dijadwalkan untuk berangkat pukul 7.12 pagi di Stasiun Notogawa di Jepang.
Namun yang terjadi adalah keberangkatan pada pukul 7.11 lebih 35 detik.
Sementara insiden itu tidak berdampak pada jadwal perjalanan lainnya, satu penumpang mengeluh setelah ketinggalan kereta.
Ketepatan waktu mungkin juga merupakan salah satu alasan utama mengapa Tokyo, terlepas dari dimensi dan status megalopolisnya sebagai salah satu kota paling padat di planet ini.
Dilansir dari Kompas.com, dalam sejarahnya, Jepang sebenarnya tidak selamanya menjadi tempat yang paling menghargai waktu.
Hingga akhir 1800-an, Jepang di masa pra-industrial masih bersikap amat santai.
Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira AL Belanda yang datang ke Jepang pada 1850-an, menulis di catatan hariannya bahwa warga Jepang tidak pernah datang tepat waktu.
Saat itu, masih kata Willem, kereta api di Jepang bahkan kerap terlambat 20 menit dari jadwal seharusnya.
Di masa Restorasi Meiji (1868-1912), di saat Kaisar Meiji menghapus sistem feodal, menerapkan reformasi militer dan industrialisasi, ketepatan waktu menjadi norma bar.
Baca Juga : Biasanya Hanya Menjadi Hama Siapa Sangka Rumput Teki Punya Manfaat Bagi Kesehatan Kulit
Budaya baru ini dianggap menjadi kunci utama kemajuan pesat Jepang dari negeri agraris menjadi sebuah masyarakat industri modern.
Sekolah, perusahaan, dan jaringan kereta api, di mana ketepatan waktu diberlakukan ketat, menjadi institusi yang menjadi ujung tombak perubahan budaya ini.
Di masa inilah, jam tangan menjadi benda populer dan konsep 24 jam sehari menjadi hal yang familiar bagi warga biasa.
Di atas semua itu, menurut peneliti Ichiro Oda, saat itulah warga Jepang menyadari konsep "waktu adalah uang".
Pada 1920-an, ketepatan waktu dilembagakan dalam berbagai propaganda negara.
Berbagai poster soal ketepatan dan penghematan waktu disebar.
Misalnya bagaimana cara perempuan menata rambut dalam lima menit jika tak ada acara khusus.
Sejak saat itulah, ketepatan waktu dikaitkan dengan produktivitas di perusahaan dan organisasi.
Demikian penjelasan Makoto Watanabe, guru besar ilmu komunikasi dan media di Universitas Bunkyo Hokkaido.
Baca Juga : Kisah Robinson Sinurat, Anak Petani yang Berhasil Lulus S2 di Columbia Univesity dan Bertemu Barack Obama