Find Us On Social Media :

Hidup Sendiri Selama 29 Tahun di Pulau 'Surga,' Seperti Apa Kisahnya?

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 16 Februari 2019 | 08:30 WIB

"Aku tidak akan pergi," ucap Morandi. "Aku berharap meninggal di sini, dikremasi, dan abuku bertebaran bersama angin."

Ia meyakini, semua kehidupan pada akhirnya akan bertemu kembali dengan Bumi—bahwa kita semua adalah bagian dari energi yang sama.

Orang-orang Stoa dari Yunani kuno menyebutnya sebagai sympatheia, keyakinan bahwa dunia ini adalah kesatuan organisme hidup yang tak terpisahkan dan saling berkesinambungan tanpa akhir.

Keyakinan tentang keterkaitan tersebut mendorong Morandi untuk bertahan di Budelli tanpa kompensasi apa pun.

Setiap hari ia mengumpulkan sampah plastik yang terdampar di pantai dan berkutat dengan flora dan fauna.

Di luar keengganannya untuk bergaul dengan manusia, ia menjaga pantai-pantai Budelli dengan semangat dan mengedukasi pengunjung tentang ekosistem dan bagaimana cara melindunginya.

Baca Juga : Sering Terganggu dengan Mobil Tetangga yang Parkir di Depan Rumah? Ini Jalur Hukum yang Bisa Ditempuh!

"Aku bukan ahli botani atau ahli biologi," kata Morandi. "Ya, aku tahu nama-nama tanaman dan hewan, tetapi pekerjaanku jauh berbeda.

Menjaga tanaman adalah pekerjaan teknis, sedangkan aku berusaha membuat orang-orang mengerti mengapa tumbuhan butuh hidup."

Morandi percaya bahwa mengajari orang-orang bagaimana melihat keindahan akan menyelamatkan dunia dari eksploitasi secara lebih efektif ketimbang dengan cara-cara yang saintifik.

"Aku ingin orang-orang mengerti bahwa kita harus mencoba tidak melihat keindahan, tetapi merasakan keindahan dengan mata tertutup," tambahnya.

Musim dingin di Budelli sangat indah. Morandi bertahan dalam rentang waktu yang cukup panjang—20 hari lebih—tanpa kontak dengan manusia.

Ia menemukan pelipur lara dalam introspeksi sunyi yang menghampirinya. Ia sering kali duduk di pantai hanya bertemankan suara angin dan ombak yang membungkam kesunyian.

"Aku seperti berada di dalam penjara di sini," ujarnya. "Tetapi penjara yang kupilih sendiri untuk diriku," lanjutnya.

Baca Juga : Faktanya, Orang yang Bahagia adalah Mereka yang Aktif Beragama

Morandi melewatkan waktu dengan beragam pencarian kreatif.

Ia memahat kayu juniper menjadi patung, membuat wajah-wajah yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk samar.

Ia membaca dengan tekun dan merenungkan kebijaksanaan filsuf-filsuf Yunani dan sastrawan-sastrawan berbakat.

Ia mengambil banyak foto pulau tersebut, mengagumi bagaimana pulau itu berubah dari jam ke jam, musim ke musim.

Semua itu bukanlah perilaku aneh bagi orang-orang yang menghabiskan waktu lama sendirian.

Para ilmuwan sejak lama menyatakan bahwa kesendirian dapat membangkitkan kreativitas, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejumlah seniman, penyair, dan filsuf sepanjang masa yang menghasilkan mahakarya mereka saat mengasingkan diri dari masyarakat.

Manfaat kesendirian mungkin tak menguntungkan secara universal.

"Kesendirian bisa mengakibatkan stres tinggi bagi golongan masyarakat berteknologi maju yang telah dilatih untuk percaya bahwa kesendirian harus dihindari," jelas Pete Suedfeld dalam Loneliness: A Sourcebook of Current Theory, Research and Therapy.

Baca Juga : Bayi 24 Minggu Dikeluarkan dari Janin, Kemudian Dimasukkan Kembali ke dalam Kandungan, Ini Alasannya

Tetapi masih ada budaya-budaya di dunia yang menjadikan kehidupan menyendiri sebagai tradisi yang dihormati.

Monastisisme Buddhis misalnya, lebih mendorong pengabdian spiritual dan pencarian ilmiah ketimbang mencari kesenangan jasmaniah.

Tetapi di tengah lajunya arus globalisasi, kemampuan manusia untuk mengalami kesendirian yang sejati mungkin hanyalah sesuatu dari masa lalu.

Merespons pembangunan yang meningkat di wilayah tersebut, sebuah perusahaan internet membangun jaringan Wi-Fi di Budelli, yang menghubungkan Morandi dan kepingan surga tercintanya dengan dunia melalui media sosial.

Baca Juga : Yuk, Coba Rebus 2 Bahan Ini dan Minum Sebelum Tidur, Ampuh Turunkan Berat Badan

Morandi seringkali membagikan foto-foto Matahari terbit dan tenggelam, langit berbadai, dan mikro organisme berwarna pink, dan sejumalh foto lain.

"Aku rasa foto-foto yang kubagikan dalam Google Maps telah dilihat hampir oleh 600.000 orang," ucap Morandi.

Menggunakan bentuk baru komunikasi ini adalah bentuk kelonggaran Morandi demi tujuan yang lebih besar, yakni untuk memfasilitiasi ikatan antara orang-orang dan alam dengan mengekspos mereka pada keindahan alam.

Sebuah ikatan yang Morandi harap, dapat memotivasi orang-orang untuk peduli terhadap planet yang mulai 'layu'.

"Cinta adalah konsekuensi mutlak dari kecantikan dan sebaliknya," kata Morandi. "Saat kamu mencintai seseorang begitu dalam, kamu akan melihat dia begitu indah, tetapi bukan karena keindahan fisik.

Kamu berempati dengannya, kamu menjadi bagian dari dirinya dan dia menjadi bagian dari dirimu. Sama halnya dengan alam."

Baca Juga : Wahai Orangtua, Jangan Pernah Paksakan Anak Masuk SD Jika Belum Matang

 

Artikel ini pernah tayang di Nationalgeographic.grid.id oleh Gregorious Bhisma Adinaya dengan judul asli "Morandi, Pria yang Hidup Sendiri Selama 29 Tahun di Pulau 'Surga'"