Find Us On Social Media :

Gemar 'Selfie' di Lokasi Bencana Alam, Pertanda Gangguan Kejiwaan?

By Intisari Online, Rabu, 16 Januari 2019 | 10:10 WIB

Seorang psikoanalis terkemuka, Carl Jung, berpendapat bahwa secara alamiah, manusia senang melihat orang lain menderita, karena hal tersebut menghibur diri kita, namun kita tidak secara langsung terkena dampaknya. Dengan melihat penderitaan orang lain, kita diberi kesempatan untuk menghakimi dan menertawakan orang lain, sementara kita terbebaskan dari merasakan penderitaan. Carl Jung menciptakan sebuah istilah yang dikenal sebagai corpse preoccupation untuk merujuk pada keinginan seseorang untuk menyaksikan hal-hal yang aneh dan mengerikan.

Jung percaya bahwa di dalam setiap manusia, ada yang disebut sebagai bayangan (shadow) yang mewakili sisi manusia yang paling gelap. Dia berpendapat bahwa semakin kita menekan bayangan tersebut, semakin kuat bayangan tersebut dalam mempengaruhi perilaku kita. Itulah sebabnya sulit bagi kita untuk menghindari godaan untuk tidak melihat penderitaan orang lain. Melihat kesengsaraan orang lain menjadi sulit untuk ditolak, karena tindakan tersebut memenuhi kepuasan diri untuk membiarkan si bayangan berkuasa, tanpa kita perlu melakukan kejahatan apa pun.

Saat kita melihat kesengsaraan orang lain, seorang filsuf terkenal dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Frankie Budi Hardiman mengatakan bahwa tindakan tersebut juga mengindikasikan bahwa kita sedang mencari informasi. Tindakan ini didorong oleh “keinginan tak penting untuk tahu” dan keinginan tersebut bersifat asing, menghakimi, egosentris dan eksploitatif. Seorang pelaku menggunakan korban sebagai objek yang menghibur untuk memenuhi keinginan mereka. Dalam kasus ini, melihat artinya tidak melakukan apa-apa atau bahkan sebuah tanda penolakan untuk turun campur. Tindakan ini dilakukan bukan untuk menolong ataupun memahami korban.

Sebenarnya menakutkan ketika kita menyadari bahwa kebiasaan melihat penderitaan orang lain begitu mengakar di masyarakat kita. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kesedihan orang lain dianggap sebagai komoditas yang menghibur. Praktik melihat penderitaan orang lain tanpa melakukan apa-apa pada akhirnya akan menjadi parah ketika kemudian orang-orang yang melihat itu mengambil selfie untuk mendokumentasikan kesengsaraan orang lain dan mendistribusikannya di media sosial.

Tindakan tersebut merupakan pertanda sebuah masalah moral yang serius, karena praktik mengambil selfie di lokasi bencana lebih jahat daripada menjadi pengamat saja. Kebiasaan tersebut merupakan gejala patologi sosial, yaitu hilangnya rasa empati.

Baca Juga : Dari Diajak 'Selfie' hingga Alasan Petugas Imigrasi, Ini 5 Fakta Pemeriksaan Maria Ozawa di Bali

Masalah keselamatan

Orang lain bisa berpendapat bahwa mengambil selfie pada lokasi bencana adalah hal yang bisa diterima. Mereka bisa berargumen bahwa foto-foto tersebut dibutuhkan sebagai bukti bahwa pembagian bantuan benar-benar dilaksanakan. Saya bisa menerima alasan tersebut asal tindakan tersebut tidak dilakukan untuk kepentingan pribadi, seperti misalnya meningkatkan popularitas di media sosial.

Namun, terlepas dari masalah kesehatan mental, mengambil selfie di lokasi bencana juga berbahaya dan bisa mengancam jiwa.

Misalnya sewaktu proses evakuasi saat terjadi kebakaran hutan, orang-orang yang penasaran yang ingin mengambil selfie dapat membahayakan keselamatan mereka. Tindakan mereka juga dapat menghambat proses evakuasi.

Fokus pada korban

Salah satu solusi untuk mengendalikan kebiasaan ambil selfie di lokasi bencana adalah dengan mencoba menempatkan diri kita pada posisi korban. Apakah Anda suka jika ada orang asing berpose untuk sebuah foto sementara Anda menderita? Saya yakin tidak ada manusia yang ingin diperlakukan seperti itu.

Secara psikologis, para korban akan menderita dua kali karena tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan dan juga tanpa sengaja dibuat menjadi bagian dari ‘semacam pertunjukan.’

Kita harus berempati dengan para korban dan mempertimbangkan apa yang mereka alami. Saya mengerti bahwa teknologi informasi telah mengubah cara kita untuk mendapatkan informasi. Tetapi jika kita tahu bahwa kita tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu korban, setidaknya tolong kurangi beban mereka dengan tidak menjadikan mereka objek demi memuaskan keingintahuan kita.

Rizqy Amelia Zein, Assistant Lecturer in Social and Personality Psychology, Universitas Airlangga

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga : Kisah Penumpang Lion Air JT 610 yang Mengirimkan Foto Selfie Terakhirnya Pada Sang Istri