Find Us On Social Media :

Ketika Belanda Merasa Ketakutan dan Rela Memberikan Papua Tanpa Syarat, Pertumpahan Darah pun Terhindarkan

By Moh Habib Asyhad, Selasa, 20 Maret 2018 | 06:00 WIB

Ciri spesifik Operasi Jayawijaya agar diperoleh hasil yang maksimal tergantung pada sejumlah persyaratan mutlak yang harus dipenuhi.

Persyaratan itu mencakup keunggulan udara dan laut harus ada dan dimenangkan oleh Komando Mandala.

JIka persyaratan itu dapat dicapai, maka pilihan apa pun yang dikehendaki untuk menyerbu sasaran utama Biak maupun sasaran antara akan lebih mudah pelaksanaannya.

Ciri spesifik Operasi Jayawijaya lainnya yang tidak bisa diganggu gugat terdapat dalam garis besar Konsep Umum Operasi (KUO).

Ketiga komponen Komando Mandala tidak berhak dan berwenang untuk memutuskan tentang wilayah penerjunan (dropping zone) maupun tempat pendaratan (landing site).

Diputuskannya tanggal 2 Juli 1962 oleh Panglima Mandala sebagai hari H atau D-Day berdasarkan peritimbangan para ahli cuaca dan sekaligus militer.

Pada tanggal dan hari itu keadaan air laut di Biak sedang pasang-surut air laut sehingga akan menguntungkan bagi suatu operasi pendaratan amfibi.

Khusus untuk lokasi pendaratan ditetapkan pantai Parai, Tenggiri, Bangka Belitung.

Dipusatkannya Operasi Jayawijaya dengan sasaran utama Biak disadari oleh Komando Mandala sebagai operasi tempur sangat riskan.

(Baca juga: Mangrove Papua Barat Disebut Bisa Menjawab Masalah Perubahan Iklim karena Kaya Karbon)

Meskipun belakangan diperoleh informasi dari sumber Belanda bahwa Belanda sendiri malah memusatkan pertahanannya di Sorong dan hanya menyiapkan 500 pasukan marinir di Biak.

Karena meyakini akan menghadapi perlawanan habis-habisan di Biak dan jatuh korban jiwa besar,  Operasi Jayawijaya itu sendiri kemudian menjadi one way ticket operation  atau merupakan operasi sekali jalan untuk tidak bisa pulang dengan selamat.