Ketika Belanda Merasa Ketakutan dan Rela Memberikan Papua Tanpa Syarat, Pertumpahan Darah pun Terhindarkan

Moh Habib Asyhad

Penulis

Pertumpahan darah yang seharusnya terjadi dan bisa memakan korban ribuan prajurit RI pun bisa dicegah. Para prajurit yang sudah pamitan kepada keluarganya pun bisa pulang dengan selamat.

Intisari-Online.com -Pada awal 1962, ketika situasi permusuhan antara Indonesia dan Belanda yang memperebutkan Irian Barat (Papua) makin memuncak, konflik militer dalam skala besar tak bisa dihindari.

Operasi militer dalam skala besar untuk merebut Irian Barat dengan sandi Operasi Jayawijaya pun segera digelar.

Operasi Jayawijaya merupakan operasi tempur gabungan berskala besar (total war) dan melibatkan armada kapal perang dalam jumlah besar.

Tujuan utamanya adalah untuk merebut dan menduduki kota Biak.

Untuk menentukan kepastian serbuan Operasi Jayawijaya, pada 25 Juni 1962, bertempat di Kesatrian Angkatan Laut Malang, Jawa Timur, telah ditentukan bahwa hari H jatuh pada 12 Agustus 1962.

Dalam rapat yang berlangsung sangat rahasia itu juga ditetapkan beberapa perwira yang akan menyusun taktik dan strategi Operasi Jayawijaya.

(Baca juga:Hutomo ‘Tommy’ Mandala, Lahir saat Soeharto Jadi Panglima Mandala dalam Operasi Pembebasan Irian Barat)

Di antaranya, Komodor Soedomo, Kolonel Udara Sri Mulyono Herlambang, dan Mayor Udara Pribadi ditugaskan untuk menyusun rencana operasi perang di laut (naval warfare operation).

Komodor Udara Leo Wattimena dibantu oleh Kolonel Inf Achmad Wiranatakusumah, Mayor Udara M Loed ditugaskan untuk menyusun rencana operasi udara (airborne operation).

Kolonel Mulyono S, Letkol Haryono Nimpuno, Letkol KKO Soewadji, dan Mayor KKO Bob Adman ditugaskan untuk menyusun tentang rencana operasi perang amfibi (amphibious warfare).

Sebagai hasil dari koordinasi tersebut, selanjutnya diputuskan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen.

Brigjen Rukman memimpin operasi pendaratan. Komodor Sudomo memimpin operasi amfibi, Komodor Udara Leo Wattimena memimpin operasi serangan udara, dan Mayjen TNI Soeharto sebagai Panglima Mandala akan memimpin langsung Operasi Jayawijaya.

(Baca juga:Gila! Ketika Menggelar Operasi Trikora, Kopaska Ternyata Menyiapkan Pasukan Bunuh Diri Menggunakan 'Torpedo Manusia')

Ciri spesifik Operasi Jayawijaya agar diperoleh hasil yang maksimal tergantung pada sejumlah persyaratan mutlak yang harus dipenuhi.

Persyaratan itu mencakup keunggulan udara dan laut harus ada dan dimenangkan oleh Komando Mandala.

JIka persyaratan itu dapat dicapai, maka pilihan apa pun yang dikehendaki untuk menyerbu sasaran utama Biak maupun sasaran antara akan lebih mudah pelaksanaannya.

Ciri spesifik Operasi Jayawijaya lainnya yang tidak bisa diganggu gugat terdapat dalam garis besar Konsep Umum Operasi (KUO).

Ketiga komponen Komando Mandala tidak berhak dan berwenang untuk memutuskan tentang wilayah penerjunan (dropping zone) maupun tempat pendaratan (landing site).

Diputuskannya tanggal 2 Juli 1962 oleh Panglima Mandala sebagai hari H atau D-Day berdasarkan peritimbangan para ahli cuaca dan sekaligus militer.

Pada tanggal dan hari itu keadaan air laut di Biak sedang pasang-surut air laut sehingga akan menguntungkan bagi suatu operasi pendaratan amfibi.

Khusus untuk lokasi pendaratan ditetapkan pantai Parai, Tenggiri, Bangka Belitung.

Dipusatkannya Operasi Jayawijaya dengan sasaran utama Biak disadari oleh Komando Mandala sebagai operasi tempur sangat riskan.

(Baca juga:Mangrove Papua Barat Disebut Bisa Menjawab Masalah Perubahan Iklim karena Kaya Karbon)

Meskipun belakangan diperoleh informasi dari sumber Belanda bahwa Belanda sendiri malah memusatkan pertahanannya di Sorong dan hanya menyiapkan 500 pasukan marinir di Biak.

Karena meyakini akan menghadapi perlawanan habis-habisan di Biak dan jatuh korban jiwa besar, Operasi Jayawijaya itu sendiri kemudian menjadi one way ticket operation atau merupakan operasi sekali jalan untuk tidak bisa pulang dengan selamat.

Ribuan sukarelawan yang terlah diterjunkan ke bumi Irian Barat baik lewat udara maupun laut telah membuktikan prinsip one way ticket itu karena jumlah personil yang gugur mencapai ratusan orang.

Sebagai contoh, Mayor Urip Santosa, komandan Pasukan Katak yang diberangkatkan dalam Operasi Jayawijaya melukiskan bagaimana kondisi dan suasana hati melaksanakan misi tempur one way ticket itu ketika berpamitan, yang diyakini untuk terakhir kalinya, kepada keluarganya.

Dalam buku Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat Maju Terus! (Penerbit Buku Kompas 2009), Mayor Urip menuliskan:

“Akhirnya tiba waktu pemberangkatan untuk menunaikan tugas.

Dua hari sebelumnya kepada kami dibagikan dog tag dengan tulisan hanya nama dan nomor pokok. Surat menyurat harus lewat sensor.

Hal ini semua tentunya untuk menjaga sekuriti kesatuan dan operasi.

(Baca juga:Sebagai Aset Sejarah dan Wisata Nilai Kekayaan di Museum Dirgantara Mandala Yogya Capai Jutaan Dolar)

Tiba waktunya saya pamitan pada istri dan ibunda saya. Istri saya baru saja melahirkan anak kedua kami, seorang laki-laki.

Ibunda dan istri saya keduanya ternyata tabah dan tidak memperlihatkan rasa was-was.

Mereka berdua ikhlas melepaskan saya demi perjuangan. Di kemudian hari saya menanyakan kepada beberapa rekan sejawat saya, mengenai soal pamitan akhir ini pada keluarga.

Umumnya situasi sama seperti yang saya alami. Saya kira waktu itu suasananya seperti menjelang dan paska Proklamasi 1945.

Suatau suasana rasa cemas (zeitgeist) yang kini rasanya tidak kita temui lagi.”

Pada 2 Agustus seluruh kekuatan tempur Komando Mandala telah siap berkumpul di Daerah Kumpul (DK) 1 di Peleng, Banggai, Sulawesi Tenggara.

Tanggal 5 Agustus Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto tiba di DK-1 dan tentu saja memicu semangat para pasukan yang siap tempur.

Tapi kedatangan Panglima justru untuk menyampaikan keputusan hari H Operasi Jayawijaya diundur menjadi H+14.

Akibatnya memunculkan masalah baru bagi Komando Mandala khususnya ketersediaan logistik makanan.

Selama menunggu digelarnya Operasi Jayawijaya, pada 14 dan 15 Agustus, induk pasukan Komando Mandala melakukan latihan pendaratan terakhir dengan memilih lokasi di Tanjung Biak, selatan Peleng, sekitar 35 mil dari DK-1.

(Baca juga:Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta Jadi Kocar-Kacir Akibat Serbuan Pasukan Siluman di Siang Bolong)

Latihan difokuskan pada gerakan konvoi dan tabir, latihan istimewa karena sebelumnya tidak pernah dilakukan dengan memakai kekuatan penuh.

Namun Operasi Jayawijaya yang nyaris digelar akhirnya batal karena pada 20 Agustus 1962 telah dicapai kesepakatan penyelesaian secara damai dan gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia.

Rupanya militer Belanda menjadi ketakutan setelah mengetahui kekuatan tempur RI yang demikian besar serta semangat para prajurit RI begitu menyala-nyala.

Pertumpahan darah yang seharusnya terjadi dan bisa memakan korban ribuan prajurit RI pun bisa dicegah.

Para prajurit yang sudah pamitan kepada keluarganya untuk terkahir kalinya pun bisa pulang dengan selamat.

Artikel Terkait