Find Us On Social Media :

Ignatius Dewanto: Penerbang ‘Edan’ yang Selalu Mendarat dengan Membawa Kabel Listrik

By Ade Sulaeman, Sabtu, 10 Maret 2018 | 12:15 WIB

Dewanto memang edan, gila, yang di mata Meitie sebenarnya lebih gila dari Leo Wattimena. Mungkin karena dia bukan komandan skadron, penyuka kopyor ini tidak jadi omongan. Menurut Meitie, kedua penerbang ini memang gila.

Tapi dalam ingatannya, Dewanto lebih sembrono. Kalau terbang berani sekali. “Kalau nyekar ke Kalibata, saya selalu berhenti di makam Leo.”

Almarhum Marsma (Pur) Andoko pernah menceritakan kegilaan temannya begini. “Hari itu saya mendarat di Halim. Tak lama kemudian sebuah Mustang mendarat. Kalau cuma mendarat nggak apa-apa, tapi yang bikin saya kaget, di belakang Mustang itu ada kawat listrik nyantol. Saya tanya kru, siapa itu. Pak Dewanto, jawab mereka enteng.” Andoko tidak habis pikir, manuver apa yang sudah dilakukan temannya itu.

“Betapa rendahnya dia terbang,” pikir Andoko. Seseorang lalu nyeletuk, “Biasa Pak, kalau Pak Dewanto pulang latihan pasti bawa kawat listrik.”

Namun Andoko tidak lupa, Dewanto lah yang dipercaya menjadi leader formasi belasan pesawat latih Harvard dalam peringatan Kemerdekaan RI ke-10 di Istana.

Dalam fly past, Harvard yang take off dari Kalijati membentuk formasi RI-10. “Latihannya hanya seminggu,” tutur Andoko yang memimpin kelompok angka 10.

Gugur

Setelah melepaskan status militernya, dalam kegalauannya Dewanto sempat mengisi waktunya dengan menjual kelapa dari Jakarta ke Banten. Dia jalani sekitar tiga bulan. Kemudian ia bergabung dengan perusahaan carter SMAC (Sabang Merauke Raya AC) yang berbasis di Medan.

Born to be a pilot, Dewanto dengan cepat populer di kalangan penerbang SMAC khususnya. Ia pun didaulat menjadi suhu. Sampai hari itu di tahun 1970, pagi-pagi sekali ia sudah menerbangkan  Piper PA-23 Aztec dari Payalebar, Singapura ke Medan karena harus membawa pengusaha perkebunan dari Medan ke Cot Girek, Aceh.

Malang baginya, di perjalanan pesawatnya mengalami engine trouble dan jatuh. Proses pencarian yang tidak berujung itu baru menghasilkan delapan tahun kemudian.  Presiden Soeharto sendiri memerintahkan untuk kapanpun ditemukan, segera ambil jenazahnya.

Dari reruntuhan bangkai pesawat dan melihat posisi kerangkanya yang beberapa meter dari pesawat, Dewanto dipastikan masih hidup saat jatuh. Jenazahnya mudah dikenali, karena jam tangan berlambang AURI masih melekat di tangannya.

Ketika Dewanto dinyatakan hilang, Meitie langsung terbang dari Jakarta ke Medan. Ia menginap di kediaman Panglima Kodau IV, Sutoyo. Hampir setiap hari ia ikut tim SAR dari udara. Dalam keputusasaannya, ibunda Meitie bahkan sampai terbang ke Belanda dan Jerman menemui orang pintar untuk bertanya.